Seperti banyak orang yang pernah berkunjung ke Baduy, atau Kanekes, saya juga selalu merasa ingin kembali berkunjung dan berkunjung lagi. Kesahajaan hidup masyarakatnya, kedamaian alamnya, bersih udaranya, syahdu malamnya... benar-benar menyesaki dada saya dengan rindu.
Banyak hal yang saya pelajari dari mereka. Salah satunya adalah cara mereka memanfaatkan sungai untuk sanitasi sekaligus menjaga kebersihannya. Tahukah kawan, bahwa hampir semua kampung di Baduy berada di pinggir sungai? Karena adat tidak memperbolehkan mereka menggali tanah untuk membuat sumur, maka mereka memanfaatkan sungai dan mata air untuk kebutuhan air mereka. Di sepanjang jalan antarkampung biasa kita lihat jalur-jalur "pipa" air dari bambu yang mereka pasang untuk mengalirkan air dari mata air ke kampung mereka. Dan rasakan besih, jernih dan segarnya air di Baduy...
Kebanyakan orang Baduy tidak mandi sesering kita. Rata-rata mereka hanya mandi sekali sehari, yaitu di sore hari setelah bekerja seharian di ladang. Kalau di Panamping, atau Baduy luar, mungkin kita masih banyak melihat orang memakai sabun atau shampoo. Tapi benda-benda itu dilarang dipakai di Tangtu, atau Baduy Dalam.
Untuk membersihkan badan, Urang Tangtu cukup membasuh badan dengan air sungai, menggosoknya dengan batu, atau kalau mau lebih "wangi", mereka memakai batang pohon "honje" atau kecombrang atau burus, yang dimemarkan sebagai sabun. Gigi pun mereka gosok dengan batang honje. Untuk mencuci pakaian mereka memakai busa buah lerak, buah yang sering dipakai orang Jawa untuk mencuci kain batik.
Saya pernah mencoba mandi a la mereka. Nyemplung di sungai, menggosok badan dengan batang honje yang dimemarkan, dan keramas dengan busa lerak (orang Baduy tidak menggunakan lerak untuk keramas). Rasanya memang menyegarkan. Dan ketika malam hari saya bisa tidur dengan nyenyak tanpa merasa risi karena badan kotor. Entah memang cara mandi seperti itu bisa sebersih cara mandi saya di kota, atau memang saya sudah sangat kelelahan siang harinya sehingga bisa tidur dengan nyenyak. Tapi yang pasti, batang-batang honje dan busa lerak itu tidak membuat air sungai menjadi kotor. Bahkan dari tempat yang sama saya berani mengambil air untuk dimasak kemudian.
Satu hal lagi, ternyata sungai tempat mandi laki-laki dan perempuan juga terpisah. Biasanya perempuan mandi di sungai yang agak keatas, yang lebih jauh dari jalan. Maka kalau kita kebetulan sedang berjalan-jalan di kampung Baduy dan melewati sungai, mungkin kita akan lebih sering bertemu dengan laki-laki Baduy yang sedang mandi, bukan perempuan.
Ketika saya kembali ke rumah sendiri, saya termangu-mangu melihat kamar mandi saya penuh dengan sabun dan pembersih berbahan kimia. Saya tidak mungkin mandi dengan batang honje di rumah. Tapi setidaknya saya sudah belajar untuk lebih bijak memakai barang-barang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H