Mohon tunggu...
Erin Cipta
Erin Cipta Mohon Tunggu... -

Mimpi membuat hidup saya lebih bersemangat. Dan semangat membuat saya terbangun untuk berlari mengejar dan berusaha mewujudkan mimpi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen : Selamat Pagi Cinta

11 Desember 2013   14:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:03 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

SELAMAT PAGI CINTA
By Erin Cipta
Dia adalah wanita yang paling kucintai. Apapun keadaanku di pagi hari, mau segar, lecek kurang tidur, brewokan lupa bercukur, ataupun setengah terpejam ke kamar mandi, dia selalu setia menyapa,
”Selamat pagi, Cinta,”
Lalu dengan sabar menungguiku bersiap ke kantor. Memang kupilih sendiri kemeja, celana dan dasi yang akan kupakai, tapi dia selalu membuatku rapi dan terlihat tampan saat keluar kamar. Biasanya dia akan menemuiku kembali di meja makan.
Seperti biasa, ibuku yang menyiapkan sarapan.
”Selamat pagi, Tampan. Ini roti dan sari buah untukmu,” Kata ibu sambil mencium ubun-ubunku.
Kulirik dia yang mungkin dari tadi menatapku. Aku kuatir dia akan marah. Tapi, ah, ternyata tidak. Dia malah tersenyum melihatku diperlakukan seperti anak kecil oleh ibu.
Selesai sarapan aku segera bangkit dan mencium punggung tangan ibu.
”Doni berangkat dulu, Bu,” Pamitku.
Dia sudah menunggu di dekat rak sepatu. Memperhatikanku merapikan pakaian, memilih sepatu, dan memakainya sendiri.
”Hati-hati. Jangan pulang terlalu malam. Aku akan menunggumu dengan cinta,” Ucapnya serupa bisikan.
*********
Seharian bekerja, sambil membayangkan wanitaku tercinta yang menunggu dengan penuh rindu di rumah membuat waktu berjalan terseret-seret seperti rantai kurang oli. Aku gelisah. Pikiran yang tidak sepenuhnya ada di kantor, membawaku melakukan beberapa kebodohan. Melamun dan sebentar-sembentar menarik nafas panjang. Bahkan sehabis makan siang di kantin, aku masuk kantor dari pintu yang salah. Akhirnya aku malah berputar-putar tidak keruan, dan berujung dengan menabrak pintu kaca ruang Bapak Kepala Bagian.
Gila, wanitaku sudah demikian dalam merogoh jiwa. Aku selalu ingin bersamanya, sepanjang waktu. Dia sudah membuatku jatuh cinta sampai ke dalam tulang.
Maka sore itu sepulang dari kantor, aku mampir ke butik. Kupilih gaun berwarna biru yang sangat indah. Akan kuajak dia makan malam berdua nanti. Kubeli juga seikat bunga. Aku tahu dia menyukai mawar, tapi kali ini biar kubawakan saja bunga matahari. Aku yang menyukainya. Biar dia tahu, bahwa dialah matahariku.
”Ikatlah dengan pita warna ungu,” Pintaku pada florist yang merangkai bunga matahariku.
**********
Aku tidak bermaksud memberi kejutan padanya, maka gaun dan bunga itu kutenteng saja masuk ke rumah. Yang terkejut justru ibuku yang sedang menyiram rumpun melati di halaman rumah saat melihatku terburu-buru masuk.
”Indah sekali gaunnya. Buat siapa?” Tanya ibu.
”Buat wanitaku, Bu,” Jawabku.
”Kok bunga matahari? ” Ibuku keheranan.
Aku tidak menjawab, tapi senyumku lebar sekali. Kukedipkan mata pada ibuku yang mulai renta.
Dia segera menyergapku di balik pintu, di dekat rak sepatu. Bahagianya disambut wanitaku yang menggendong rindu.
”Ini lihat, apa yang kubawa untukmu... Ayo kita ke kamar,” Bisikku padanya.
Di kamar, masih dengan pakaian kerja aku menata meja. Aku ingin mengajak wanitaku makan malam romantis di kamar ini. Kuletakan meja di sudut kamar, di depan almari pakaianku yang besar. Kukeluarkan sashimi, sushi, dan jus apel terbaik yang kubawa dari tadi. Semuanya kutata secantik-cantiknya, dengan lilin dan vas berisi bunga matahari. Dia memperhatikan saja dengan senyum anggunnya.
Selesai menata meja, aku beranjak ke kamar mandi. Mandi dengan air hangat, dan mencukur bersih-bersih kumis, jenggot dan cambangku yang memang cepat sekali tumbuh.
Di depan kaca tolet, aku tersenyum...
Kubuka laci, dan kukeluarkan sekotak kosmetik. Aku mulai merias wajahku sendiri. Memoles bedak, lipstik, perona pipi, perona mata dan sedikit bayangan di rahang untuk menghaluskan garisnya. Kupasang pula bulu mata palsu yang lentik.
Gaun biru kukenakan, pas sekali. Sentuhan terakhir, aku memakai wig panjang.
Kini kulihat wanitaku di dalam cermin tolet kamar mandi. Wanita yang selalu menyapaku ”selamat pagi, cinta”. Wanita yang selalu membuatku tampan dan rapi dari dalam cermin almari. Wanita yang menemaniku sarapan dari dalam cermin sketsel di ruang makan. Wanita yang melepasku pergi dengan bisikan dari dalam cermin di dekat rak sepatu.
Kini aku makan malam romantis berdua dengannya. Dalam redup cahaya lilin, kulihat wanitaku semakin cantik.
”Aku akan mencintaimu, seumur hidupku,” Bisik wanitaku dengan syahdu.
Aku terhanyut begitu dalam. Sampai tak kudengar suara tangis ibuku yang sejak tadi mengintip dari balik pintu.
*******
Taipei, Desember 11, 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun