Mohon tunggu...
Eri Kurniawan
Eri Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya pelajar, pengajar dan orang yang akan senantiasa 'kurang ajar' (dalam makna positif). Sekarang sedang belajar di kota Iowa, negerinya Bang Obama. Motto: "Teruslah merasa kurang ajar, karena kalau merasa terpelajar, kamu akan berhenti belajar."

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Do You Speak English?

13 Februari 2011   21:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:38 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1297652498339205545

[caption id="attachment_90611" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi/Admin (shutterstock)"][/caption] Pertanyaan ini kerap terlontar dari mulut seorang bule yang tidak memiliki bekal kemampuan bahasa Indonesia ketika dia hendak berkomunikasi dengan orang kita. Suatu waktu, ada seorang bule yang nyasar ke asrama mahasiswa UPI (dulu IKIP Bandung). Kontan saja seisi asrama menjadi heboh karena bule mendatangi asrama adalah pemandangan yang sangat langka. Terlebih, si bule ini belum fasih berbahasa Indonesia. Jadi, dia masuk ke ruangan tamu asrama dengan modal nekad ingin mencari teman berlatih bahasa Indonesia. Sialnya, teman-teman saya yang sedang nongkrong di ruang depan tidak ada yang bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Ya sekedar "how are you?" atau "thank you" sih mereka pasti bisa, karena semuanya pasti pernah mengenyam pendidikan bahasa Inggris dari mulai SMP. Tapi, untuk bisa menerka apa maksud kedatangan si bule dalam bahasa Inggris membutuhkan keterampilan berbahasa yang lebih. Sama halnya, si bule pun sebenarnya bisa mengatakan "Apa kabar?" atau "terima kasih" sekalipun dengan aksen bulenya yang kental. Namun, untuk sampai fungsional dalam berkomunikasi, dia membutuhkan bahasa Indonesia yang lebih 'canggih'. Komunikasi pun berlangsung dengan memakai bahasa Tarzan, sampai akhirnya salah satu teman memanggil saya yang waktu itu sedang berada di kamar. Saya pun mendatangi si bule itu. Setelah menyapa dan mengenalkan diri, dia menuturkan bahwa dia baru beberapa minggu di Indonesia dan saat itu sedang mengambil kursus bahasa Indonesia di sebuah lembaga bahasa di daerah Dago. Salah satu PR hariannya adalah dia harus bercakap dengan orang Indonesia dan harus menyampaikan laporannya tiap pertemuan. Kebetulan waktu itu, dia sedang berkunjung ke kampus UPI dan terdampar di asrama kampus. Kami pun berkomitmen untuk bertemu tiap pekan untuk berlatih bahasa (bahasa Inggris untuk saya dan bahasa Indonesia untuk dia). Di Amerika sini, pertanyaan "Do you speak English?" pernah beberapa kali terlontar kepada saya. Hanya saja, di sini terdengar berbeda. Dalam konteks Indonesia, pertanyaan semacam itu terasa biasa saja, netral. Wajar kalau orang asing bertanya demikian di lingkungan dimana bahasa Inggris bukan bahasa dominan. Tapi, ketika pertanyaan yang sama terdengar dalam konteks dimana bahasa Inggris menjadi bahasa keseharian, terasa ada sesuatu yang tidak pas. Mungkin saya terlalu sensitif, tapi pertanyaan tersebut seperti bernada 'menghina'. Saya kadang berpikir mungkin karena wajah saya Asia sehingga pertanyaan itu harus diajukan untuk memastikan. Tapi, bentuk pertanyaannya sendiri terasa janggal dalam konteks sini. Pertama, negara Paman Sam ini negara super heterogen. Warga negaranya sendiri memiliki keturunan yang puspa ragam dengan bahasa keturunan yang berlainan. Jadi kalau hanya berdasarkan muka, kemudian orang sini menyangsikan kemampuan bahasa, rasanya terlalu naif. Kedua, kalau aksen yang jadi permasalahan, orang Amerika Selatan pun aksennya luar biasa beda dengan aksen standar (Midwest). Belum lagi aksen orang Afrika, India atau China yang semuanya terdengar beda. Ketiga, dalam sebuah kota berbasis kampus seperti Iowa, orang asing datang kesini sebagian besar berniat untuk studi yang harus berbekal kemampuan bahasa Inggris. Otomatis mereka yang berada di sini setidaknya bisa berkomunikasi, paling tidak untuk tema-tema umum. Anehnya, pertanyaan semacam itu justru terlontar dari orang yang 'berpendidikan'. Misalnya, ketika di rumah sakit, dalam beberapa kesempatan, perawat menanyakan apakah saya bisa berbahasa Inggris. Padahal kalau mereka mau melakukan sedikit berpikir, mana mungkin orang ini bisa lolos dari bagian registrasi tanpa interpreter kalau dia tidak bisa berbahasa Inggris. Jangan salah, kemampuan komunikasi yang dibutuhkan untuk melakukan registrasi pun cukup kompleks, karena selain harus menyampaikan maksud kunjungan, verifikasi data pribadi pun dibutuhkan, sampai ke urusan asuransi kesehatan. Jadi, logikanya, kalau bahasa Inggrisnya tidak fungsional, tidak mungkin bisa melenggang kangkung melewati registrasi tanpa ditemani interpreter. Di perpustakaan kampus pun, saya pernah mengalami kejadian serupa. Waktu itu saya bersama teman dari Korea sedang menggarap tugas presentasi di ruang belajar, tiba-tiba seorang laki-laki berbadan besar berkulit gelap memberondong kami dengan sejumlah pertanyaan. Akses Afrikanya yang kental ditambah tempo bicaranya yang cepat membuat saya terus bertanya apa yang dia inginkan. Dengan sedikit marah sembari pergi, dia berkata, "Please learn some English". Teman saya dan saya pun hanya tersenyum lebar. Ketika berbincang dengan direktur Pusat Keberagaman Kampus, dia sempat bertanya pengalaman saya dalam berkomunikasi dengan orang Amerika. Langsung saja saya beberkan semua pengalaman tadi itu kepada dia. Dengan tersenyum simpul, dia merespon. "Keluhan semacam ini sudah sering saya dengar dari mahasiswa asing." Dia melanjutkan, "Sikap seperti ini berpangkal dari keengganan sebagian orang untuk belajar komunikasi lintas budaya. Kalau orang mau belajar, banyak sinyal-sinyal komunikasi, verbal maupun non verbal, yang bisa membantu memperjelas apa seseorang bisa berbahasa atau tidak tanpa harus bertanya." Sebagai seorang yang bertanggungjawab menyebarkan virus keberagaman budaya di kampus Iowa, dia sudah merancang berbagai pelatihan untuk meningkatkan kesadaran civitas akademika kampus akan pentingnya memahami komunikasi lintas budaya. Dalam beberapa kesempatan, saya dimintai masukan mengenai isi materi pelatihan dari perspektif linguistik. Lega rasanya mendengar penjelasan mengenai fenomena komunikasi lintas budaya langsung dari ahlinya. Paling tidak, perasaan bahwa saya terlalu 'sensi' bisa secara perlahan dihilangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun