Terbayang tidak, satu buku tipis seharga 850 ribu rupiah. Sepertinya tidak. Apalagi dalam konteks di tanah air. Sewaktu kuliah S1, saya acap kali menjadi kordinator pemotokopi. Kalau ada buku yang diwajibkan oleh dosen untuk dimiliki dan dibaca, maka sayalah orang yang teman-teman cari. Saya bertugas mengambil buku sumber dari dosen, mendata siapa saja yang mau memotokopi dan kemudian mengumpulkan uangnya. Seterusnya ya memotokopi buku dan membagikannya. Cukup jelimet memang. Apalagi kerap kali, orang yang sudah memesan agak susah membayar. Tapi, jangan salah, 'jabatan' kordinator pemotokopi ini cukup menjanjikan secara finansial. Betapa tidak, toko fotokopi sudah pasti menawarkan diskon per buku. Alhasil, saya selalu kebagian jatah satu buku yang tidak usah saya bayar karena diskon tadi. Jabatan kordinator pemotokopi ini terus saya emban setelah saya menjadi dosen. Kegemaran dosen-dosen untuk membaca buku menjadikan jabatan ini saya pertahankan. Apalagi tak ada cerita dosen nunggak bayar. Jatah buku gratis pun suka saya dapatkan plus keuntungan dari diskon. Bisnis yang lumayan untuk seorang dosen yang baru dibayar 80 persen oleh pemerintah. Ketika mengetahui bahwa saya menerima beasiswa dari luar negeri, saya mulai gusar ikhwal membeli buku, karena kabarnya buku di luar negeri ini terkenal mahal. Untungnya, kabar ini ditepis langsung oleh seorang dosen senior yang baru pulang dari Australia. Menurutnya, dia banyak membawa buku hasil fotokopian sendiri di perpustakaan. Dia bilang, buku berjubel di perpus kampus termasuk buku teks mata kuliah. Jadi, selama kita rajin memotokopi sendiri, kita tidak usah membeli. Ada aturan memang. Misalnya, tidak boleh memotokopi lebih dari sekian halaman tiap hari. Tapi itu disiasati dengan memotokopi buku secara bertahap. Urusan beres. Ketika memulai perkuliahan semester awal di Amerika, ada sebilangan buku yang wajib saya punya. Hal ini sudah saya duga sebelumnya dengan membaca silabus. Nah, ternyata, buku teks mata kuliah memang disediakan di perpus tapi tidak banyak. Paling satu atau dua. Jadi harus berebut. Siapa cepat, dia dapat. Saya pun memutuskan untuk membeli agar bisa khusyu membaca tanpa harus khawatir buku akan di-recall sama perpustakaan karena ada orang lain yang memesan. Setelah berselancar beberapa saat di beberapa toko buku di dunia maya, saya bisa menemukan beberapa buku yang bisa saya beli. Tapi harganya itu lho, selangit! Sontak saja, saya kaget. Satu buku dari dua buku yang diwajibkan pada mata kuliah fonetik, misalnya, harganya US $ 96.25 atau sekitar 850 ribu rupiah. Bayangkan harus merogoh kocek sebesar itu untuk sebuah buku tipis. Belum lagi buku-buku lain yang harganya tidak jauh dari kisaran itu. Saya pening jadinya, karena harus mengeluarkan uang banyak untuk membeli buku. Tak ada ceritanya bisa meninjam buku perpus. Bisa sih sebenarnya. Tapi ya ribet. Apalagi memotokopi, karena ternyata biaya fotokopi pun mahal. Tak berbanding dengan biaya fotokopi di tanah air. Bayangkan untuk satu lembar saja biayanya 5 sen atau sekita 450 rupiah. Berapa banyak uang yang mesti dikeluarkan untuk sebuah buku setebal 200 halaman, misalnya. Arggghh. Akhirnya, saya beli juga semua buku itu, karena wajib sifatnya. Dan tak ada pilihan lain. Sebelum berangkat ke luar negeri, saya tadinya berharap bisa membawa uang banyak, hasil dari tabungan selama di luar negeri. Ternyata, biaya pendidikan dan biaya hidupnya pun memang sebanding dengan besarnya beasiswa yang diberikan. Sebenarnya sih, menabung masih memungkinkan dengan menghemat anggaran makan, tapi tidak sebesar yang dibayangkan. Hidup memang tidak semudah dan seindah cerita dalam dongeng. Dambaan bisa membawa sekantong dolar untuk bekal masa depan ternyata tidak mudah direalisasikan. Perlu kerja keras. Tapi, kata orang, kita tidak boleh kufur nikmat. Syukuri apa yang ada dan jalani hidup dengan optimal. Saya harus banyak bersyukur sudah diberikan kenikmatan besar bisa merasakan hidup di negeri orang dengan dikarunia beasiswa. Satu hal yang masih menjadi berupa impian bagi banyak orang. Tulisan menarik lainnya: Resolusi Literasi Pipis di Negerinya Obama I am a villager (read: wong ndeso) Where are You, Indonesian Linguists? Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong! Shalat aja Kok Repot!!! Sunda? Yes! Jawa/Bali? No!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H