Mohon tunggu...
Eri Kurniawan
Eri Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya pelajar, pengajar dan orang yang akan senantiasa 'kurang ajar' (dalam makna positif). Sekarang sedang belajar di kota Iowa, negerinya Bang Obama. Motto: "Teruslah merasa kurang ajar, karena kalau merasa terpelajar, kamu akan berhenti belajar."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ada Hormon Aneh di Indonesia

17 September 2012   14:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:20 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://www.terawarner.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="425" caption="Sumber gambar: http://www.terawarner.com)"][/caption] Dulu, ketika sekolah, saya pernah mendengar sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa bayi yang lingkungan asuhnya serba bersih ternyata lebih rentan terhadap penyakit dibanding bayi dengan lingkungan 'normal'_maksudnya cukup bersih. Dengan kata lain, imunitas bayi yang diasuh dengan pola serba bersih rupanya tidak sebagus bayi dengan pola biasa, gaya Indonesia. Tapi, ini hanya katanya. Saya tidak menanyakan sumbernya apalagi membaca langsung. Saya pun sering mendengar kabar dari teman-teman saya di Amerika yang baru kembali ke atau dari Indonesia. Lagi-lagi, katanya, mereka harus ekstra hati-hati memilih dan memilah makanan_apalagi makanan yang dijual di jalanan_karena bisa menyebabkan sakit semisal sakit perut dan sejenisnya. Nah, sepulangnya ke Indonesia setahun yang lalu, saya sempat agak paranoid dengan makanan Indonesia. Dalam pikiran saya, siapa yang bisa menjamin air yang dipakai itu bersih dan bebas dari kuman? Kan, tidak ada ceritanya Dinas Kesehatan kota mendatangi rumah setiap warga untuk mengecek tingkat higienitas air yang dipakai, tidak seperti di Amerika, misalnya. Belum lagi bahan makanannya. Apakah bebas dari virus, bakteri, dan sejenisnya? Kan, tidak jarang kita mendengar bahan makanan yang memakai formalin, pewarna tekstil, dan zat kimia lain yang membahayakan tubuh manusia. Tapi, kalau terlalu paranoid, banyak sekali 'kenikmatan' yang akan saya lewatkan. Bayangkan, tinggal di Bandung utara dekat kampus yang menjadi mekahnya puspa ragam makanan dengan harga mahasiswa, tapi saya malah takut untuk membeli makanan. Menyedihkan! Altenatifnya, saya harus memasak di rumah. Tapi, bahan makanannya harus dibeli di pasar tradisional yang Anda tahu sendiri bagaimana kondisinya, apalagi pasar di daerah gerlong. Tepat di bagian depannya, ada tempat pembuangan sampah. Ah, terlalu banyak ketakutan. Akhirnya, saya nekat. Toh, saya orang Indonesia yang sedari kecil sudah menikmati kuliner Indonesia tanpa masalah. Saya belanja dari tukang sayur. Pun, membeli makanan di warung dan kantin sekitar kampus. Alhasil, beberapa hari saya sakit perut. Tapi, tentu saja, tidak mengurungkan tekad saya untuk terus menikmati makanan Indonesia. Pikir saya, perut saya lagi 'cultural shock'. Yang agak mengherankan adalah kejadian yang menimpa bayi saya. Maklum bayi lahir di AS, jadi sepertinya belum terbiasa dengan 'gaya hidup' di Indonesia. Karena terbiasa meminum susu murni, ketika baru pulang, saya kelimpungan mencari penggantinya. Tidak mungkin membeli susu murni dari Lembang, misalnya, karena (katanya) belum dipasteurisasi. Saya coba pelbagai merk: Dancom, SGM, dan sebagainya. Tidak ada yang cocok. Ternyata, pas saya coba minum, susu di Indonesia relatif manis sekalipun untuk bayi. Bayi saya tidak terbiasa dengan itu. Akhirnya, dia sering mencret dan masalah pencernaan lainnya. Anehnya (atau lebih tepatnya uniknya), setelah sekitar sebulan lebih, saya sekeluarga baik-baik saja. Makan di mana pun tidak jadi masalah. Begitu pun bayi saya. Memang, kita harus agak memilah tempat yang 'representatif'_relatif bersih dalam hitungan kita. Bahkan, saya pernah bereksperimen. Membeli makanan di tempat yang pernah membuat saya sakit perut. Alhamdulillah, tidak apa-apa. Saya bilang kepada istri saya, kehebatan perut Indonesia kita sudah kembali pulih. Sekembalinya saya ke AS, saya berbincang mengenai pengalaman 'unik' ikhwal makanan ini kepada teman saya yang pernah tinggal di Belanda. Menurutnya, ada teman Indonesia yang baru datang ke Belanda dan mengalami masalah pencernaan, sampai harus beberapa kali ke dokter. Setelah diperiksa, rupanya ada hormon (khas Indonesia) yang tidak memiliki 'sparing partner' di Belanda. Biasanya, si hormon ini bertugas untuk memerangi bakteri dan sejenisnya dari makanan di Indonesia yang membahayakan tubuh. Karena di Belanda, makanannya bersih, otomatis si hormon ini menganggur. Akhirnya, dia bertingkah. Kata teman saya, butuh waktu beberapa minggu pengobatan untuk memulihkan kondisi teman yang sakit itu. Nah, bagi Anda yang mau ke luar negri atau mau kembali ke Indonesia, hati-hati dengan hormon 'aneh' ini. Salam rindu Kompasiana, Iowa City, 17/09/2014 9:14 AM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun