Mohon tunggu...
Eri Kurniawan
Eri Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya pelajar, pengajar dan orang yang akan senantiasa 'kurang ajar' (dalam makna positif). Sekarang sedang belajar di kota Iowa, negerinya Bang Obama. Motto: "Teruslah merasa kurang ajar, karena kalau merasa terpelajar, kamu akan berhenti belajar."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aneh tapi Nyata (Jilid II)

31 Januari 2011   06:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:02 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebelah kiri adalah pembimbing saya (sumber: http://improbable.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Contoh Peta Hidup (sumber: http://4.bp.blogspot.com)"][/caption] Seperti yang saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya, saya orang yang amat percaya dengan impian, asa dan cita-cita. Karenanya, saya membuat peta impian atau hidup yang di dalamnya tertera capaian-capaian dengan waktu yang diidamkan. Berkat kemurahan Yang Di Atas, sebagian besar capaian ini menjadi kenyaaan. Salah satu yang dibahas sebelumnya adalah mendapat beasiswa ke luar negeri sebelum berusia 25. Harapan lain yang tertulis dalam peta hidup tadi adalah lulus strata 2 yang dengan 'sembarang' saya sertakan dengan waktu 27 (usia). Entah apa yang melatari keputusan saya mencantumkan angka 27 ini. Agak aneh. Padahal beasiswa yang dengan serius digarap adalah beasiswa ke Australia yang sebagian besar programnya hanya 1-1.5 tahun. Jadi tidak klop dengan peta hidup saya. Alhamdulillah, beasiswa ke Australia pun saya dapatkan walaupun pada akhirnya saya batalkan karena memilih ke Amerika. Dan, lamanya program master apabila beasiswa Australia diambil hanya satu tahun. Kalau itu dijadikan pilihan, otomatis peta hidup harus dirombak. Terus terang saya tidak ingat dengan angka 27 itu ketika memutuskan memilih beasiswa Amerika. Justru yang mengingatkan adalah istri saya ketika keputusan sudah bulat. "Yang, kan kalau ke Amrik programnya dua tahun, cocok banget dengan peta hidup yang sayangku miliki." Mengingat hal membuat saya semakin takjub dengan semua kemurahan dan kasih sayang Allah SWT terhadap saya yang telah mengantarkan saya meraih pelbagai tujuan dalam peta hidup ini. [caption id="" align="alignright" width="396" caption="Gedung tempat saya belajar (sumber: http://english.uiowa.edu)"][/caption] Pendek cerita, saya pun memulai studi di Amerika. Tepatnya di Universitas Iowa, di kota Iowa, belahan midwest AS. Saya mengambil spesialisasi linguistik komputasional, sebuah disiplin perpaduan ilmu bahasa dan komputer. Ikhtiar saya untuk mengambil bidang ini sudah saya mulai beberapa bulan sebelum berangkat dengan membaca sebilangan buku terkait dan mengambil privat pemrograman. Setelah beberapa bulan, masalah besar menghadang. Spesialisasi ini tidak digarap dengan serius di kampus ini karena ahlinya rupanya sudah mengundurkan diri beberapa tahun silam. Kecewa, dongkol, marah, frustasi, semuanya berkecamuk dalam diri. Saya layangkan surat keluhan/protes kepada pihak jurusan. Pun, saya laporkan masalah ini kepada pihak pemberi beasiswa. Solusi yang ditawarkan adalah pindah kampus, yang tentunya akan menyedot banyak energi, uang dan waktu. Yang lebih saya khawatirkan adalah peta hidup saya yang akan amburadul gara-gara masalah penjurusan ini. Dengan terpaksa, karena pilihan transfer kurang terasa rasional (bahkan mungkin sedikit emosional), saya memilih bertahan dengan mengubah haluan. Saya memilih untuk menggeluti linguistik teoretis karena memang banyak ahlinya di kampus ini. Rupanya, inilah jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan. Semester tiga, sekalipun nilai dua semester sebelumnya jeblok karena urusan gonjang-ganjing penjurusan, saya malah didorong untuk mendaftar diri ke program strata tiga. Jujur saja, saya agak ragu dan pesimis karena sudah hilang kepercayaan diri akan kemampuan akademik saya pribadi (Plus nilai GRE saya pun tidak begitu memuaskan). Tapi, pembimbing saya sangat antusias. Sampai-sampai makalah yang jadi salah satu persyaratan lamaran dia bimbing langsung agar hasilnya optimal. Saat ini, sudah tidak saya hiraukan peta hidup saya karena memang kenyataanya tidak selaras dengan harapan. "Yang penting lulus S2 saja," pikir saya waktu itu. Jauh sebelum surat resmi penerimaan diterima, pembimbing saya sudah mengabari bahwa makalah saya banyak diminati oleh para profesor dan saya diterima di program S3. Bahagia sekali perasaan saya saat itu karena jalan yang terjal penuh kerikil ternyata mengantarkan saya pada hasil. Dalam hitungan matematis, kans saya untuk diterima relatif kecil karena IPK, nilai GRE dan nilai ujian komprehensif semua tidak memenuhi ekspektasi. Tapi, hitungan Allah memang lain. Kalau Dia sudah berkehendak, tak ada satu pun makhluk yang bisa mengelak. Sampai saat itu, saya sadar bahwa saya harus merevisi peta hidup saya, karena program S3 memakan waktu cukup lama. Lagi-lagi, entah apa yang membuat saya dengan sembarang mencantumkan angka 30 (usia) untuk penyelesaian S3 padahal paling tidak butuh waktu 4-5 tahun untuk sampai ke jenjang wisuda. Apalagi menengok perjalanan kuliah S3 beberapa senior di jurusan yang memakan waktu 6-8 tahun. [caption id="" align="alignleft" width="307" caption="Sebelah kiri adalah pembimbing saya (sumber: http://improbable.com)"]

Sebelah kiri adalah pembimbing saya (sumber: http://improbable.com)
Sebelah kiri adalah pembimbing saya (sumber: http://improbable.com)
[/caption] Ketika ingin memperpanjang surat izin belajar dari Setneg (maklum saya PNS), saya harus mencantumkan tanggal kelulusan untuk menentukan berapa lama izin yang dibutuhkan. Saya konsultasikan hal ini dengan pembimbing saya. Dengan entengnya dia menuturkan, "Tiga tahun kamu bisa beres. Dua tahun membereskan kuliah dan setahun meneliti dan menulis disertasi." Sontak saja saya dibuat ternganga karena masih setengah percaya dengan apa yang saya baca. "Kok cuma tiga tahun." Artinya, saya bisa lulus ketiga saya berusia 30. Dengan kata lain, peta hidup yang saya rancang empat tahun ke belakang masih bisa diikuti, tanpa harus direvisi. Tak habis-habisnya saya mengucap syukur karena secara hakiki Allahlah yang menggerakkan tangan saya untuk mencantumkan angka 27 dan 30. Tak ada hitungan matang mengenai nomor-nomor ini karena kepastian beasiswa mana yang akan didapat pun belum ada kejelasan. Tapi rupanya, goresan pena dalam peta hidup saya menjadi do'a yang dikabulkan oleh-Nya berkat kekuatan tekad dan keyakinan teguh akan janji-Nya, "Sesungguhnya Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku terhadap-Ku." (HR. Abu Hurairah). Kisah menarik saya lainnya: Birokrasi Ala Indonesia di Amerika Pengemis Dilarang Mangkal di Depan Restoran: Peraturan Baru Tukang Sumbangan Ala Amrik Amerika: Negara Ada-Ada Saja Satu Dolar Seribu Rupiah? Tamu Tak Diundang di Negeri Sebrang Jadi Pemulung di Amrik Pipis di Negerinya Obama Cari Terasi Sampai ke Washington DC Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong! Shalat aja Kok Repot!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun