Mohon tunggu...
Eri Kurniawan
Eri Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya pelajar, pengajar dan orang yang akan senantiasa 'kurang ajar' (dalam makna positif). Sekarang sedang belajar di kota Iowa, negerinya Bang Obama. Motto: "Teruslah merasa kurang ajar, karena kalau merasa terpelajar, kamu akan berhenti belajar."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Satu Dolar Seribu Rupiah?

23 Januari 2011   04:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:16 4817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Toko BestBuy Iowa (sumber: http://www.lightingtheqca.com)"][/caption] Walau terus berfluktuasi, nilai satu dolar dalam rupiah gampang dicari. Tinggal kunjungi toko tukar mata uang (bahasa Indonesia untuk Money Exchange karena  toko seperti ini sebagian enggan membahasaindonesiakan namanya) atau situs-situs berita yang memuat informasi ikhwal nilai tukar uang. Salah satu contohnya, berdasarkan GMC (dari situs surat kabar Pikiran Rakyat), nilai (beli) dolar AS hari ini adalah Rp 9.067. Nah, yang menjadi permasalahan adalah ekuivalensi nilai dolar ke rupiah dalam kepala saya. Sebelum berangkat ke Amrik, saya sudah diingatkan oleh seorang kolega di kantor (dia pernah sekolah di Amrik) bahwa saya harus siap dengan puspa ragam kejutan budaya. Termasuk di antaranya kejutan berurusan dengan pemakaian uang dolar. Katanya dia dulu menghabiskan lebih dari 8 dolar untuk sekali makan. Kalau dikonversikan ke dalam rupiah, mahal sekali, kan? Dengan uang segitu, kita bisa mentraktir teman-teman di warteg atau kantin. Awalnya, dia juga mengalami kejutan budaya. Selalu saja otaknya berputar mengkonvesikan dolar ke rupiah manakala dia memakai dolar. Alhasil, dia stres. Akhirnya, dia memberikan sugesti pada dirinya sendiri bahwa 1 dolar sama dengan 1 ribu rupiah. Dengan begitu, pengeluaran belanja di Amrik serasa identik dengan pengeluaran di Indonesia. Tips dia itu masuk akal juga, pikir saya waktu itu. 8 dolar berarti 8 ribu. Ya juga, kita sekali makan di warteg atau mungkin warung nasi padang kan bayarnya segituan. Saya ingat-ingat terus tips dari dia agar bisa terpatri dalam kepala. Seketika berangkat ke Amerika, saya langsung berusaha mengubah pola pikir ikhwal nilai dolar. 1 dolar 1 ribu. Berbuah hasil juga, ternyata. Keengganan untuk membeli sesuatu (belanja) karena terasa mahal lambat laun memudar. Pas mau belanja buku, misalnya, saya sempat dibuat kaget oleh harga sebuah buku agenda (organizer), 8 dolar. Waduh, dengan 8 dolar, saya bisa membeli 4 buah buku agenda  yang bagus di Indonesia. Akhirnya, saya konversikan dengan 1 ribu rupiah dalam kepala, jadi kan cuma 8 ribu. Murah rasanya. Harga buku teks lebih mengerikan lagi. Kisaran harganya benar-benar membuat pening dan dompet kering. Salah satu buku yang saya mesti beli, misalnya, berharga 96 dolar. Coba konversikan ke dalam nilai tukar aktual, pasti kita mengelus-elus dada. Masa beli satu buku harus mengeluarkan uang hampir satu juta. Di Palasari Bandung (pusat penjualan buku murah) dengan uang sejuta,  saya bisa membeli buku sekarung. Tapi, waktu itu, saya pikir, "Ah cuma 96 ribu." Dibeli juga akhirnya (apalagi tidak ada pilihan untuk tidak membeli). Beberapa hari setelah tinggal di sini, saya diajak sama teman ke salah satu toko elektronik terbesar di kota Iowa, namanya Best Buy. Saya lagi-lagi dibuat kaget dengan harga barang-barang elektronik di sana. Tadinya saya secara otomatis mengeset pikiran bahwa 1 dolar setara 1 ribu rupiah. Sayangnya, untuk urusan elektronik, pola ini tidak berlaku. Untuk barang semisal laptop, harganyarelatif  di bawah harga di Indonesia padahal spesifikasinya tinggi dan bermerk. Toshiba Satelite, contohnya, ada yang berharga di bawah 400 dolar. Rasanya tidak mungkin kalau dianggap 400 ribu. Mestinya 4 juta, sesuai dengan nilai tukar sebenarnya. Membuat pusing kan? Jadi 1 dollar seribu atau sepuluh ribu? Untuk urusan biaya sekolah pun, saya sempat dibuat sakit kepala. Satu semester dengan mengambil 9 sks, saya harus membayar sekitar 4000 dolar (Kalau tanpa beasiswa, hitungannya jadi 10 ribu dolar per semester. Ampun!!!). Kalau menerapkan tips teman, 1 dolar 1 ribu rupiah, biaya sekolah hanyalah sekitar 4 juta. Lumayan seimbang dengan SPP di kampus-kampus di Indonesia. Tapi kalau sedolar dianggap 10 ribu, jadi 40 juta. Wow, mahal sekali. Dengan 40 juta, saya bisa membereskan kuliah S2 di Indonesia. Pusing jadinya. Untungnya, ada yang membayarkan yakni pihak Fulbright dan kampus Universitas Iowa. Kalau tidak, entah apa lagi yang bisa dijual orang tua saya di kampung sana. Karena kambing serta ladang sudah habis dipakai membiayai sekolah SMK =). Satu waktu, pas saya lagi di perpus kampus, saya lupa tidak membawa minum dari rumah. Dengan sedikit terpaksa, saya coba mencari minuman botol. Waktu itu, maklum orang kampung, belum sadar bahwa keran air minum bertebaran di tiap gedung. Rasanya tidak tega menegak air dari keran, takut sakit perut. Setelah memutar-mutar gedung perpus, saya temukan sebuah vending machine di dekat gerbang masuk utara. Tersedia air putih, jus, air mineral, dan coca cola. Pas dilihat harganya, saya lagi-lagi terheran-heran. Masa satu botol coca cola berharga 1.25 dolar. Sekitar 12.500an (kalau kursnya 10 ribu). Saya langsung ubah nilai tukar dalam kepala, 1 dolar 1 ribu rupiah, kan jadinya hanya Rp. 1.250. [caption id="" align="alignleft" width="475" caption="Toko Goodwill (sumber: http://www.goodwillseiowa.org)"][/caption] Beberapa hari kemudian, saya ajak istri saya ke toko Goodwill, sebuah toko yang menjual barang-barang bekas dari hasil donasi. Toko seperti ini cocok sekali untuk para penerima beasiswa seperti saya karena selain harganya murah, barangnya bermerk dan masih bagus, apalagi produknya asli. Saya pernah mendapat baju hangat merk Nike asli, yang harganya hanya 4 dolar. Kalau sengaja beli baru, saya harus merogoh kocek paling tidak 10 dolar. Nah, ketika masuk ke toko Goodwill tersebut, saya melihat di papan pengumuman dekat kasir bahwa barang yang ber-tag biru dipotong jadi cuma 25 sen. Dengan semangat 45, saya langsung mencari-cari jaket dan baju hangat untuk musim salju. Saya dan istri pun berhasil menemukan beberapa baju hangat bagus ber-tag biru. Bahannya tebal tapi lembut. Saking senengnya mencari barang bagus tapi murah, sampai kami terlena dan hampir lupa bahwa kami belum menunaikan ibadah shalat dzuhur. Kami pun bergegas ke kasir. Setelah dimasukan ke kantong, si kasir berkata, "7 dollars total, Sir." Hah, barang segitu banyaknya hanya senilai 7 dolar. Bayangin aja, kami mendapat 1 jaket musim dingin tebal beserta 4 baju hangat bagus dengan uang hanya 7 dolar. Dalam perjalanan pulang, istri saya bertanya total uang yang sudah dihabiskan untuk belanja (makanan dan pakaian) selama dua hari ke belakang. Setelah dihitung-hitung, saya menghabiskan uang 50 dolar selama dua hari itu. Terus dia bertanya, "Yang, jadi kita habis 50 ribu atau 500 ribu?" Saya pun hanya bisa tertawa. Kisah menarik saya lainnya: Makanan Haram yang Pernah Aku Lumat Tamu Tak Diundang di Negeri Sebrang Ada SIM Tembak di Amrik?!? STMJ: Studi Terus Mabok Jalan Jadi Pemulung di Amrik Pipis di Negerinya Obama Cari Terasi Sampai ke Washington DC Bule, kok Ngomong Sunda? Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong! Shalat aja Kok Repot!!! Ada Alien di Rumahku: Kisah Nyata “Profesor apa Rocker?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun