Mohon tunggu...
Eri Kurniawan
Eri Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya pelajar, pengajar dan orang yang akan senantiasa 'kurang ajar' (dalam makna positif). Sekarang sedang belajar di kota Iowa, negerinya Bang Obama. Motto: "Teruslah merasa kurang ajar, karena kalau merasa terpelajar, kamu akan berhenti belajar."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tamu Tak Diundang di Negeri Sebrang

21 Januari 2011   00:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tamu tak diundang (sumber:http://riannanworld.typepad.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="tamu tak diundang (sumber:http://riannanworld.typepad.com)"][/caption] Di kampung di tanah air (baca: kampung saya di Garut untuk menghindari generalisasi), sudah menjadi tradisi bahwa kita bisa bertamu tanpa harus membuat janji. Mengingat konteknya juga kampung dimana alat komunikasi tak secanggih kota. Saya masih ingat dulu ketika sekolah, yang namanya telepon rumah hanya bisa dijumpai di rumah mewah. Atau orang kampung menyebutnya 'gedong'. Apalagi telepon genggam, terlalu canggih untuk kebutuhan hidup di kampung. Sekarang semua mulai berubah. Ibu saya pun yang gagap teknologi sudah memiliki telepon genggam, walau masih bingung cara mengirim pesan singkat. Kembali ke urusan tamu bertamu, orang datang tanpa 'diundang'. Tetangga, kerabat sampai penjual obat bisa mengetuk pintu rumah tanpa memberitahu terlebih dahulu. Pikiran sederhana orang kampung mungkin seperti ini, "Untuk memberitahu atau membuat janji kan mereka harus bertemu (karena tidak semua mempunyai telepon), mengapa tidak langsung saja?" Uniknya, karena sudah menjadi adat, kita pun sebagai tuan rumah tidak merasa terganggu ketika ada orang yang mengetuk pintu, padahal kita tidak sedang mengharap tamu. Di Bandung pun hal ini lumrah terjadi. Mungkin karena daerah yang saya tinggali masih kampung. Suatu saat, ketika saya sedang tidur pulas, terdengar ketukan pintu. Saya langsung terbangun dan mengintip di jendela siapa gerangan. Ternyata, orang tak dikenal berpakaian rapih memegang kertas beberapa helai. Dengan sedikit malas karena rasa kantuk masih menggelayut di kelopak mata, saya buka pintu. Saya persilakan masuk si tamu tadi. Ternyata, tamu tersebut adalah ketua RT yang mau menyerahkan kartu keluarga yang saya butuhkan untuk aplikasi paspor dan visa. Saya memang belum begitu mengenal tetangga karena relatif warga baru di kampung Cihideung itu. Lain waktu, saya kedatangan seorang pemuda rapih berdasi membawa beberapa bungkusan. Sudah tak aneh pasti salesman. Sangkaan saya itu betul adanya. Dia agen salah satu produk pasta gigi yang berjanji akan memberikan hadiah langsung kalau saya memiliki produknya di rumah. Kebetulan, produknya tidak saya pakai. Dia pun berkilah bahwa dia juga memasarkan merk lain, yang siapa tahu saya miliki. Saya sudah bisa terka, intinya dia ingin memberikan 'hadiah langsung' yang ujung-ujungnya harus membayar pajak atau biaya administrasi lainnya. Saya langsung saja berkata tegas bahwa saya tidak tertarik dengan semua tawaran yang dia berikan. Setelah tinggal beberapa lama di negeri Paman Sam, saya mulai paham akan perbedaan kultur ikhwal aturan bertamu. Di sini, tak ada istilahnya ketuk pintu orang tanpa membuat janji terlebih dahulu, satu hal yang sudah menjadi kebiasaan ketika di Indonesia dulu. Teman atau bahkan tetangga akan menelpon atau mengirim sutron (email) sebelum memutuskan datang. Makanya, terasa janggal ketika terdengar ketukan pintu padahal kita tidak mengharapkan tamu. Tapi, selalu ada saja pengecualian. Dalam beberapa kesempatan, apartemen saya sering didatangi para misionaris, yang umumnya pengikut Jehovah's Witnesses. Mereka biasanya berdua, membawa beberapa helai majalah agama dan mengetuk-ngetuk pintu orang dengan penuh asa. Satu waktu, saya membuka pintu lebar untuk mereka. Sebagai tuan rumah, kita mesti menghargai tamu, siapapun orangnya. Dengan semangatnya, mereka menjelaskan konsep penciptaan dan Tuhan padahal masuk pun mereka tampak enggan. Dengan tenang, saya jelaskan bahwa saya sudah menganut agama Islam dan saya percaya atas adanya penciptaan alam beserta Tuhan. Kemudian mereka menyodorkan majalah keluaran mereka yang isinya sudah bisa ditebak: penciptaan, Tuhan, dan semua yang terkait dengan ajaran mereka. Mereka akhirnya pamit. Beberapa minggu atau bulan setelah itu, pasangan misionaris lain datang. Masih dari denominasi yang sama tapi orangnya berbeda. Karena saya 'capek' untuk menjelaskan ketidaktertarikan saya berdiskusi dengan tamu tak diundang, saya hanya mengatakan, "Sorry, I'm not interested." Setelah itu, kalau ada ketukan pintu yang tidak kami tunggu, dan terlihat dua orang bule berpakaian rapih sedang menunggu, saya langsung kabur menuju kamar tidur, membiarkan mereka menunggu sampai kapanpun mereka mau. Beberapa menit kemudian, mereka hengkang. Dalam kesempatan lain, saya menerima tamu tak diundang. Kali ini, dua orang remaja Amerika yang luar biasa cepat bicaranya yang meminta sumbangan. Waktu itu, saya pikir, "Ternyata di negeri semakmur Amerika masih ada juga ya orang meminta sumbangan dengan mengetuk pintu orang." Saya persilakan mereka masuk agar mereka bisa menjelaskan siapa dan dari mana mereka berasal. Karena terlihat buru-buru, mungkin mengejar target penghasilan, mereka langsung menyodorkan formulir isian. Mereka mengaku mewakili yayasan anak yatim piatu yang sedang sedang membutuhkan bantuan. Caranya agak aneh. Saya diminta berlangganan majalah yang bisa saya pilih, tapi majalah itu akan diberikan ke yayasan itu. Tentunya, saya yang harus bayar. Jenis majalahnya sangat beragam dari olahraga sampai hiburan. Anehnya lagi, mereka menyuruh saya menulis cek dengan jumlah yang sudah mereka tentukan. Dengan niat ingin membantu, saya ikuti saja kemauan mereka. Setelah kedua remaja tadi pergi, rasa kepenasaran tiba-tiba muncul untuk memastikan yayasan yang mereka wakili. Saya cek keberadaan yayasan itu di internet, dan ternyata yayasan mereka hanyalah agen majalah yang mempekerjakan anak remaja untuk mencari pelanggan. Setiap pelanggan yang mereka peroleh, mereka mendapatkan poin penghargaan yang bisa mereka tebus dengan paket liburan. Merasa ditipu mentah-mentah, saya langsung mengirimkan pesan ke bank untuk membatalkan cek yang baru saya keluarkan. Besok harinya, balasan datang. Alhamdulillah, pihak bank sangat berempati dengan apa yang baru saya alami dan mereka mau membatalkan cek tanpa biaya. Khawatir kejadian serupa dialami oleh tetangga, saya mengirim pesan ke staf perumahan kampus ikhwal pengalaman yang saya dapatkan. Ternyata, mereka pun sudah mendapat laporan yang sama dari penghuni yang lain. Bahkan, mereka sudah menghubungi yayasan tempat anak-anak remaja itu bekerja agar tidak mendatangi komplek perumahan kampus karena memang ada larangan. Ternyata, namanya tamu tak diundang, dimana-mana selalu ada, baik di kampung maupun di kota, bahkan di Amerika. Kisah nyata lainnya: Si Bayi Pembawa Rezeki Shalat Jumat Pun Harus Mengalah Ada SIM Tembak di Amrik?!? STMJ: Studi Terus Mabok Jalan Jadi Pemulung di Amrik Pipis di Negerinya Obama Cari Terasi Sampai ke Washington DC Bule, kok Ngomong Sunda? Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong! Shalat aja Kok Repot!!! Ada Alien di Rumahku: Kisah Nyata “Profesor apa Rocker?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun