Mohon tunggu...
Eri Kurniawan
Eri Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya pelajar, pengajar dan orang yang akan senantiasa 'kurang ajar' (dalam makna positif). Sekarang sedang belajar di kota Iowa, negerinya Bang Obama. Motto: "Teruslah merasa kurang ajar, karena kalau merasa terpelajar, kamu akan berhenti belajar."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Profesor apa Rocker?

16 Januari 2011   20:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:30 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Funky Profesor diambil dari http://improbable.com

[caption id="" align="aligncenter" width="529" caption="Funky Profesor diambil dari http://improbable.com "][/caption] Dalam budaya kita, profesi seorang guru begitu mulia. Kemuliaannya itu sampai harus diterjemahkan ke dalam pakaian yang harus dikenakan, terutama ketika mengajar. Secara umum, mereka harus mengenakan kemeja atau bahkan jas beserta celana kain atau katun rapih (plus wajib disetrika). Di luar konteks mengajar pun, ekspektasi seorang guru berpakaian rapih terus melekat. Sehingga, manakala terlihat ada guru yang berpakaian semaunya di luar sekolah, guru tersebut sudah barang tentu akan menjadi topik pembicaraan hangat di masyarakat. Oleh karenanya, tak heran ketika seorang kolega sempat mengingatkan saya akan 'etika' berpakaian ketika saya nongkrong di kampus UPI dengan mengenakan jeans dan kaos oblong agak belel serta sandal gunung. Padahal waktu itu, saya benar-benar lagi di luar tugas, tapi kebetulan saja nongkrongnya di wilayah kampus. Pikiran saya sederhana, "Masa harus berkemeja dan bercelana kain setiap saat?" Sama halnya dengan guru, profesor yang bisa ditilik sebagai maha guru 'diwajibkan' berpakaian rapih. Apalagi mengingat fakta bahwa mayoritas profesor di tanah air sudah mendekati usia uzur, jadi rasanya tidak pantas bagi mereka untuk berpakaian 'seenaknya.' Kalau hal ini dilabrak, sang profesor harus siap-siap dibicarakan banyak orang. Di kampus UPI, pernah ada seorang profesor yang menjadi bahan cibiran karena dipandang nyentrik, mengenakan jeans ketika mengajar sekalipun beliau masih memakai kemeja pendek. Kolega saya pun pernah diperingatkan oleh pihak fakultas karena mengenakan jeans ketika bertandang ke kantor. Inilah sebagian contoh yang menunjukkan kepada kita bahwa pakaian rapih (baca: kemeja, celana kain/katun) bagi seorang guru/dosen apalagi profesor sudah menjelma menjadi keharusan sosial. Image sosial ini rupanya sudah terpatri betul sehingga ekspektasi saya terhadap profesor Amerika tidak beda dengan ekspektasi saya terhadap profesor Indonesia. Ketika diberitahu bahwa orang yang akan menjemput saya di bandara adalah profesor saya, gambaran saya adalah dia berpenampilan rapih, mengenakan kemeja dan mungkin memakai jeans. Ketika menunggu bagasi, tiba-tiba orang berambut panjang sudah beruban mengenakan kaos oblong polos dan jeans kecil model dulu menyapa saya, "You're Eri, right?" sembari menyodorkan tangan untuk bersalaman. Sejujurnya saya kaget, tapi saya berusaha menyembunyikan kekagetan saya dan langsung mengiyakan. Beliau pun memperkenalkan diri dan kemudian mengambilkan salah satu koper saya. Tadinya saya berpikir bahwa profesor saya berpenampilan seperti ini karena suasananya informal, di luar jam kantor. Ternyata, beberapa hari kemudian ketika saya bertemu dengan beliau di kantornya, penampilannya tetap sama dengan kacamata hitam terpasang di atas rambut panjangnya dan kaos oblong polos beserta jeans kecilnya. Ketika dalam kelas pun, tidak ada perubahan. Dia tampil seperti sebelumnya. Pikir saya, "wah santai banget ya profesor di sini." Pada satu kesempatan, abstrak saya diterima untuk dipresentasikan dalam sebuah konferensi linguistik internasional. Dalam benak saya, lazimnya, dalam suasana konferensi apalagi sifatnya internasional, setiap orang mengenakan pakaian rapih, berkemeja bahkan sebagian berdasi dan bercelana kain/katun. Karena bingung khawatir saltum (salah kostum), saya pun datang menjumpai profesor saya yang sama-sama berencana untuk hadir. "Prof, apa yang mesti saya kenakan?" tanya saya. Dia menjawab, "Eri, you know what? You can wear anything you want." Terus dia bilang bahwa dia sendiri hanya akan memakai kaos oblong dan jeans, seperti biasa. Ketika masuk ke ruangan konferensi, apa yang disampaikan oleh profesor saya itu benar adanya. Hampir setiap orang berpakaian santai. Tidak ada satupun yang memakai jas apalagi dasi. Bahkan saya lihat di samping kanan saya duduk seorang bule yang mengenakan celana gunung pendek dan kaos oblong sembari kaki naik ke atas kursi, seperti di warung kopi. Inilah salah satu 'kejutan budaya' yang saya alami dalam tahun-tahun pertama saya tinggal di Amrik ini. Bisa jadi betul apa yang orang bilang bahwa semangat dibangunnya negeri Obama ini dilatari, salah satunya, oleh sebuah keinginan besar untuk lari dari tradisi Inggris (Eropa) yang begitu rigid dan kaku. Bahkan saya baca dari surat kabar New York Times bahwa Presiden Obama pun mencoba mengencarkan semangat informal dalam tradisi berpakaian di Gedung Putih. Dalam beberapa kesempatan, dia sering memimpin rapat hanya mengenakan kemeja putih berdasi tanpa mengenakan jas resmi. Di Sini Tilang…Di Sana Tilang…Di Mana-mana Aku Ditilang Shalat Jumat Pun Harus Mengalah Madura Go International STMJ: Studi Terus Mabok Jalan Jadi Pemulung di Amrik Pipis di Negerinya Obama Cari Terasi Sampai ke Washington DC Bule, kok Ngomong Sunda? Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong! Shalat aja Kok Repot!!! Sunda? Yes! Jawa/Bali? No!!! “Malu Aku Jadi Orang Indonesia.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun