Tips Mengatasi kekurangan Dokter Indonesia, surat terbuka dari Dokter Internet
Kita akui bersama bahwa saat ini banyak masyarakat yang merasakan kekurangan dokter dalam pelayanan kesehatan, misalnya: pasien yang menumpuk, waktu pemeriksaan yang terburu-buru hingga dokter tidak praktek tepat waktu karena harus mondar-mandir antara beberapa tempat praktek.
Guna mengatasi hal tersebut, Menkes RI mencanangkan akan menambah dokter dengan mendatangkan dokter dari luar negeri. Mirip-mirip naturalisasi pemain sepak bola, begitu analogi Bpk Menkes yang sering disapa BGS.
Ternyata hal ini menimbulkan polemik. Ada yang setuju dengan harapan pelayanan kesehatan di Indonesia lebih baik lagi, namun ada yang tidak setuju. Alasan yang kontra adalah, antara lain:
- Terlalu menyederhanakan persoalan. Kondisi pelayanan kesehatan di Indonesis jauh lebih kompleks dari suasana di lapangan sepak bola.
- Penambahan dokter asing hanya simptomatis saja tidak menyelesaikan masalah utamanya.
- Bisa menimbulkan masalah lagi, misalnya pembiayaannya. Apakah dari pemerintah, dari pemda atau dibiarkan dokter tersebut mencari uang sendiri.
- Kondisi kekurangan dokter terutama di daerah (terpencil), tidak bisa diselesaikan dengan penambahan dokter semata tanpa didukung penyediaan alat-alat diagnostik dan penunjang yang memadai lainnya.
- Akan menimbulkan kecemburuan jika para dokter asing diperlakukan istimewa.
- Masih ada aturan (al.: antar Kementerian) yang sebenarnya secara tidak langsung bisa menghambat penyebaran tenaga dokter.
dll.
Saran Dokter Internet
Melihat hal tersebut, beberapa saran penulis selaku pemerhati masalah kesehatan:
- Sebaiknya pemerintah dalam hal ini Kemenkes melakukan pengkajian lebih dalam lagi, apa masalah inti dari gejala kekurangan dokter ini.
- Sebaiknya Kemenkes bisa bekerjasama dengan semua pemangku kepentingan, mencoba mengkoordinasikan aturan-aturan yang ada sehingga bisa sama-sama mendukung penyebaran dokter di Indonesia dengan lebih merata.
- Untuk penambahan dokter di daerah, penulis mencontoh apa yang pernah penulis lihat puluhan tahun yang lalu (1970-an) di Negeri Kincir Angin, Belanda. Di sana untuk alat-alat diagnostik yang mahal, mereka/RS menggunakan secara bersama. Jadi ada jadwalnya, alat tersebut bisa dipindah-pindah. Hal ini bisa diterapkan di Indonesia yang negeri kepulauan. Rumah Sakit Terapung, bisa jadi solusinya. Jadi suatu daerah yang membutuhkan layanan kesehatan, bisa bergiliran didatangi kapal yang berisi segala kelengkapan termasuk sumber datanya.
- Dan jangan lupa perkembangan Telemedicine (doctor to doctor) bisa sangat mendukung hal ini. Selain Dokter Konsultan tidak perlu ke lapangan, bisa terjadi transfer of knowledge dengan dokter yang di daerah.
Alangkah baiknya jika memang ke depan, perlu adanya koordinasi lebih erat antar Kementerian, Akademisi, Swasta, Organisasi Profesi, dll. Bahkan dengan kemajuan teknologi informasi, tentu lebih mudah menerima input dari para pelaku (dokter) dan pasien di daerah yang menjadi target kebijaksanaan ini. Memang cakupan kebijakan di bidang pelayan kesehatan tidak sekecil lapangan bola, tapi internet menjadikannya hanya sebesar layar kaca.
Dr. Internet Erik Tapan
sejak tahun 1996.
[update] EKSLUSIF, nantikan jawaban Menkes pada artikel selanjutnya.... silakan follow account kami ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H