Mohon tunggu...
Erik Tapan
Erik Tapan Mohon Tunggu... Dokter - Social Media Health Consultant

Sebagai seorang Health Consultant, saya akan berusaha memberi solusi terbaik (efisien, efektif & aman) bagi klien yang kebetulan mengalami ketidakberuntungan dengan kesehatannya. Pengalaman saya dlm bidang kedokteran, farmasi/obat2an, herbal, terapi alternatif / energi, internet dan social media. Topik yang sering ditangani: anti aging, masalah ginjal, penyakit degeneratif, lansia, dll. Silakan kontak saya untuk memperoleh waktu diskusi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Adakah yang salah dengan Program Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia?

26 Mei 2024   20:04 Diperbarui: 27 Mei 2024   21:03 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 https://www.kompasiana.com/agungsantoso/574480f4d57e619909f83848/akreditasi-rumah-sakit-kepentingan-rumah-sakit-atau-masyarakat


Adakah yang salah dengan program Akreditasi Rumah Sakit


Sejak tahun 1995, pemerintah telah mengharuskan seluruh Rumah Sakit mengikuti program Akreditasi. Tujuan tentu untuk meningkatkan mutu layanan. Dan (meskipun waktu itu belum disebutkan) diharapkan dengan mutu yang meningkat, pasien-pasien Indonesia lebih mau berobat di negeri sendiri dibandingkan dengan berobat di Malaysia atau Singapura.


Lalu, apakah hasilnya setelah hampir 30 tahun program Akreditasi rumah sakit telah dilaksanakan dan bisa dibilang, seluruh Rumah Sakit telah menerapkannya?

Bandingkan dengan Pemerintah Malaysia, hanya dalam 20 tahun berhasil meningkatkan kunjungan pasien Indonesia mengalahkan negeri Singapura.

Penulis baru saja menonton tayangan di YouTube mengenai keluhan salah seorang pasien warga negara Indonesia berkemampuan cukup (tercermin dari sistem pembiayaannya, menggunakan asuransi swasta) yang protes soal pelayanan salah satu RS di Indonesia. Ceritanya begitu detil dan memang durasi videonya agak panjang. Sebagai pengamat perumahsakitan tentu penulis berusaha menyimak video tersebut hingga akhir (berdurasi sekitar 1 jam, bisa ditonton di sini, 

https://youtu.be/M0UAW3cPbPI

Banyak informasi /  pelajaran yang bisa diambil terlepas info ini baru dari satu pihak saja. Dari salah satu keluhan, penulis terkesan akan pengamatan sang pasien.
Misalnya salah satu dokter jaga yang sibuk mengurus laporan dibandingkan dengan rekan sejawatnya di Malaysia yang mau menjenguk mantan pasiennya untuk mengucapkan selamat atas ditegakkannya diagnosis penyakitnya yang waktu di Indonesia belum berhasil ditegakkan. Juga soal rumitnya proses check out pasien di RS di Indonesia. Dokter penangungjawab di RS Indonesia tersebut katanya sudah nyerah, tetapi RS tidak mau memulangkan pasien. Jadi terpaksa pulang paksa. Begitu pendapat pasien tersebut. Begitu pula dengan proses pengurusan asuransi. Sekali lagi ini baru info dari salah satu pihak. Penulis belum melakukan konfirmasi ke pihak RS di Indonesia karena memang tidak disebutkan nama RS-nya.
Sebagai seorang dokter, penulis tahu bagaimana ribetnya tugas-tugas administrasi di sebuah Rumah Sakit. Dan tugas ini dikerjakan juga baik oleh perawat maupun tenaga medis yang tugas utamanya melayani pasien secara langsung (garda terdepan). Tentu semua ini atas nama program akreditasi yang tujuannya meningkatkan mutu layanan Rumah Sakit hingga sama atau melebihi mutu layanan Rumah Sakit di luar negeri, Malaysia atau Singapura, misalnya.


Pertanyaannya, sudah bertahun-tahun Rumah-rumah Sakit di Indonesia telah melaksanakan proses akreditasi, bahkan mungkin tidak ada satupun Rumah Sakit di Indonesia yang bisa beroperasi tanpa lulus akreditasi, tapi kenapa jumlah pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri bukannya berkurang tapi malah semakin banyak? Dari sisi pasien, tidak banyak yang mau repot-repot berobat ke luar negeri kalau bisa menjalaninya di dalam negeri saja.


Bertahun-tahun para petugas baik kesehatan maupun medis pasti sudah merasakan betapa repotnya melaksanakan proses akreditasi Rumah Sakit. Lalu bagaimana hasilnya?
Penulis jadi berpikir (otokritik), apa beban melaksanakan akreditasi begitu berat atau jangan-jangan proses akreditasi itu hanya semacam kosmetik semata (misalnya: gedung mewah dan bersih, peralatan kesehatan canggih, dll.). Tidak menyelesaikan masalah utamanya (pelayanan yang profesional, ramah dan peduli dengan kesulitan yang dialami pasien) sehingga pasien Indonesia belum bisa merasakan pelayanan kesehatan yang selevel dengan Malaysia.
Salahnya di mana ya?

Pengalaman / sharing salah satu sejawat.
Saya pribadi punya pengalaman.
Lima hari yl adik kandungku sampai saya minta dia pulang paksa karena dirawat di VIP room tetapi sdh 5 hari tidak di-visite dokter  dan tanpa diagnosa kerja.
Gara gara alasan sibuk rapat akreditasi. Nah lo. Kita protes ke Direkturnya.
Masaalahnya juga jika RS tdk lulus akreditasi, BPJS akan memutus kerjasamanya dgn RS yg tdk lulus akreditasi. Lalu ke mana pasien BPJS mau berobat ?
Jadi Direktur, serba salah juga ya.


Dr. Erik Tapan, MHA
Pengamat Perumahsakitan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun