[caption id="attachment_214025" align="aligncenter" width="400" caption="Titi Syuman dalm film "][/caption] (Catatan seorang penonton, di deret bangku belakang) Seorang teman bertanya kepada saya, “Apa yang membuat film Rayya menarik?”. Dan saya tak punya jawaban yang muluk-muluk dengan analisa padat, sebagaimana layaknya kritikus, selain bahwa film tersebut merupakan cermin kita masing-masing. Kesatuan dari pengalaman orang banyak yang dibungkus dalam sosok kompleks bernama Rayya, beserta latar kegundahan a la masyarakat modern. Selepas pertunjukkan perdana, di senin malam, 17 september kemarin, saya mencoba mengamati wajah-wajah penonton yang keluar dari ruang redup pemutaran. Air muka yang beragam macam. Suara-suara lirih saling berbisik, beberapa orang yang berjalan diam, bahkan kegaduhan yang tiba-tiba dari beberapa pengunjung. Seakan rata-rata mereka mengalami gelisah yang sama, berusaha menerjemahkan, petikan-petikan adegan yang detil serta padat dalam sinema Rayya, Cahaya diatas Cahaya. Rayya adalah film yang berada di luar sangkaan. Saat bioskop jenuh dijejali oleh kisah-kisah serba monoton, memenuhi kehendak pasar yang konon menginginkan tema-tema ringan dan sebatas tontonan, Rayya datang menyuguhkan aroma baru. Adonan cerita dengan dialog kental. Percakapan yang tak sekedar lontaran kata tanpa bobot, dengan latar belakang bingkai-bingkai yang mewakili realitas kecil kehidupan kini, yang kerap diabaikan, bahkan cenderung diremehkan. Saat dunia menawarkan mimpi-mimpi tentang kesuksesan atas dasar pelampiasan karsa dan kuasa, kehidupan gemerlap namun pengap, jalan pintas popularitas, pemujaan atas keagungan diri, kisah Rayya membantingnya berkeping-keping. Lalu, menawarkan cermin tak utuh itu, hingga banyak orang bisa memungutnya pecahan per pecahan. Didalam ruang perenungan masing-masing, kemudian memagut raut,“oh…inilah aku, dalam cermin itu, yang diwakili Rayya” Cerita dibuka dengan pengenalan tokoh. Rayya, diperankan Titi Syuman, seorang gadis muda yang cantik, lengkap dengan pencapaian-pencapaian gemilangnya. Dia tenar, kaya, bergelimang puji-puja, hidup pada panggung kesuksesan yang diidamkan rata-rata orang. Hampir-hampir, sosok yang menjadi bayangan gapai ideal manusia modern, bintang segala bintang. Tapi hidup memang seperti yang disemboyankan, dalam bahasa jawa, “sawang-sinawang”. Segalanya tergantung kepada cara dan letak melihat. Dalam kesendiriannya, Rayya justru resah. Terselimuti paradoks yang mengancam. Dia seperti berada diselubung sangkar emas. Ada yang “kering” pada bidang-bidang batinnya. Kelelahan menumpuk, hingga membuatnya asing dengan sekeliling, yang oleh sementara orang, justru dianggap sebagai kenikmatan.
Rayya merasa haus dan butuh air untuk mengguyur tubuh kemanusiaannya, yang selama ini dibungkus jubah-jubah selebritas. Dililit jalinan temali kepalsuan. Nilai-nilai kehidupan yang diukur dari kuantitas kebendaan. Mutu pencapaian diri yang ditakar dari seberapa yang didapat, bukan tentang kecermatan untuk senantiasa mengamati, seberapa yang lewat.
Rayya memberontak. Dia menerobos keluar dari kungkungan kegalauannya. Hidup yang sepi dalam keramaian, ramai dalam kesepian. Bergumul saling jejal, membuatnya muak dan muntah. “Ini bukan aku, bukan yang sejati” seakan-akan dia meneriakkan kalimat terebut. Pesohor yang jelita itu lalu melakukan perjalanan. Menyusuri jalanan pulau jawa yang riuh, dari Jakarta menuju pulau Bali. Sepanjang pengembaraan tersebutlah, wanita yang awalnya berkarakter meledak-ledak terhadap apa yang tidak disukainya itu, mulai luluh. Bertemu dengan peristiwa-peristiwa kecil namun menggigit perasaan. Bersinggungan dengan kejadian-kejadian yang disepanjang usianya tak sempat diperhatikan. Di Jogja, Rayya mendapatkan fenomena-fenomena yang ganjil bagi pemahamannya. Seorang ibu penjual kerupuk karak yang menohoknya karena menolak dibayar lebih, demi alasan kebaikan, sedekah dan sejenisnya, sembari bilang kepada Rayya “Saya ini jualan mbak, bukan mengemis” . Melintasi sosok Slamet, lelaki kurus yang dianggap “kurang waras” oleh banyak orang, namun tetap ceria. Menari, melambai di sekitar tugu Jogja, dan tertawa sekehendak dirinya. Barangkali karena hidup memang indah dalam versinya, tapi keterbatasan pengetahuan khalayak, tak mampu menjangkau ruang-ruang hati dan pikir Slamet, lalu dengan singkat menyebutnya “gila”. Berikutnya, sketsa-sketsa serupa menggempur, berhasil membuat Rayya mesti berpikir ulang. Meneliti kembali, sekian definisi-definisi perihal hidup dan kehidupan. Dia tengah sekolah, di universitas alam semesta. Berdampingan dengan Arya, diperankan Tio Pakusadewo, perempuan yang merindukan kesejatian itu menempuh kontemplasi panjang. Arya yang dilukiskan tenang, datar, tapi menggenggam kesunyian yang gerah, bertaut satu sama lain, melukar tafsir-tafsir yang meliuk dalam pada tiap persoalan yang dijumpai. Dialog tajam, tentang cinta, religiusitas, kepintaran, hasrat manusia, juga keresahan sosial yang biasanya didapati pada lembaran berita-berita media dengan perspektif yang membosankan, juga dikelilingi amarah. Pada suatu siang, dalam mobil yang melaju, Arya menyindir banyak dari kita, tentang bagaimana melukar pemahaman tentang cara beragama. Ketika diluar sana, simbol-simbol keagamaan marak dipertontonkan, dijadikan label untuk memperkuat eksistensi, kealiman yang semestinya diletakkan sebagai output pengalaman beragama serta hidup, dijadikan busana demi mempertebal identitas melalui festival religiusitas. Lelaki setengah baya itu, sambil memegang kemudi mobil, meluncurkan kalimat “Orang alim itu tak akan mempertunjukkan, apalagi mendemonstrasikannya di depan umum”. Sedemikian lama saya merindukan sebuah film dengan dialog-dialog kuat. Lemparan kata-kata yang serupa panah. Terhunus gemulai, terbang elegan namun menusuk menggoyang rusuk. Lebih dari sekadar gelontoran kata. Rangkaian kalimat yang mestinya sarat dengan permenungan. Sebab sekian menit menonton film adalah re-kreasi, dalam pengartian yang lebih dalam, “merangkai ulang esensi hidup selepas menikmati sebuah karya”. Sebut saja, mengkaryakan kembali sebuah karya. Merasukkan capaian nilai atas karya tersebut dalam badan, lalu bergerak untuk menelorkan karya diri sendiri. Pada film Rayya ini, saya dipertemukan dengan apa yang saya kangeni itu. Film adalah hasil simulasi sutradara dan penulis atas kehidupan yang diteropongnya. Bingkai-bingkai imajinatif yang tercecer pada keseharian, dijalin jadi cerita. Maka sudah semestinya, sinema hadir sebagai pemantik. Tempat orang bercermin, melihat fenomena kehidupan pada layar, yang belum tentu dijumpai dengan mudah, oleh masing-masing penonton, pada kehidupan diluar bioskop. Kesibukan modernitas, kegaduhan wacana-wacana memaksa kita untuk keluar dari diri. Mengamati sekitar tapi sering lupa untuk mengaduk-aduk kedalam. Kegelisahan membawa banyak orang kepada parameter-parameter yang silang sengkarut. Kesuksesan adalah seperti tokoh itu, kebijaksanaan adalah layaknya figur ini, kepemimpinan semestinya seperti orang itu, kealiman harusnya serupa manusia ini, dan lain semacamnya. Contoh-contoh yang berada diluar diri, alpa direfleksikan ke dalam. Banyak menumpuk pelajaran dan hikmah kehidupan, tapi senantiasa terlupa untuk diterap selanjutnya dilakukan menjadi keluaran manfaat. Kemudian Rayya menggelitik. Dia yang merasa kacau dengan hidupnya, lalu telaten mengumpulkan serpih-serpih nilai kehidupan, diserap perlahan, lantas benar-benar diaplikasikannya. Dengan perjuangan sungguh-sungguh, Rayya mencari dirinya, yang sesungguhnya. Menggali peristiwa-peristiwa remeh untuk semakin mengenal “Siapa sesungguhnya Aku?”. Rayya tak ingin terus menerus terjebak dalam ilusi. Dia menghindari untuk tampil layaknya orang lain, berperan di dunia artifisial yang gemerlap, dan bangga mengenakan topeng-topeng. Rayya adalah cermin yang bercermin. Seorang yang tak mau hanya menikmati cahaya dari ruangan gelap. Dia ingin merapat kepada sumber cahaya, menempel ke pusat terang sebenarnya. Bukan sekadar pemakan bias-bias, pelahap percik lampu kedip, yang gagap lalu kaget, sempoyongan ketika sinar terang tiba-tiba meruap. Rayya adalah pejalan yang tidak ingin berkutat pada perdebatan adiktif, jalur mana yang mesti dipilih, menumpuk konsep pemetaan, tapi kaki dilipat dan duduk berlama-lama, tak kemana-kemana. Jalan, lakukan saja, terus begitu. Demikianlah seperti refleksi atas kebanyakan kita. Dalam kelelahan yang memburu, mimpi-mimpi berserakan, sudah saatnya kita bersikap tegas terhadap diri sendiri. Bangun lantas bergegas. Apa yang terjadi diluar sana adalah pelajaran yang tidak cukup dirangkai lewat kata-kata mutiara saja. Diabadikan pada akuarium, lantas hanya dinikmati tanpa pernah tergerak untuk turut berenang. Berhenti jadi kolektor kebijaksaan, mari berjalan, lakukan yang dimengerti, belajar untuk terus mengupas asal dan tujuan hidup. Memetik sesuatu, diolah, lantas dimakan. Mari melakukan bukan hanya sibuk berwacana, sebab sepakat atau tidak, hidup adalah tentang tindakan. Apa yang telah kita lakukan, seberapa maksimal menjalankan peran sebagai manusia, sembari nyicil pemahaman, tentang apa sebenarnya peran tersebut. Kita adalah sekumpulan makhluk yang sedang menjalani pengalaman masing-masing. Menggali potensi yang misterius dibalut tubuh. Maka peristiwa kehidupan yang terus bergerak adalah manifestasi atas potensi tersebut. Terjadi, lalu mendapatkan sari. Diserap, diterap, kemudian dibuncah lagi dalam peristiwa lainnya lagi. Akan terus seperti itu, dinamis dan repetitif secara pola. Layaknya seorang siswa, yang belajar lalu ujian, berulang-ulang, hingga lulus. Dan untuk konteks kita adalah, lulus sebagai manusia, yang tidak tahu kapan itu akan tercapai, sebab bukan kita jurinya. Beberapa hari setelah pemutaran perdana film Rayya, saya berkumpul dengan sejumlah sahabat, lalu mendiskusikan pertunjukkan itu. Benar-benar acak, setiap orang punya petikkannya sendiri. Sepertinya benar, bahwa Rayya, barangkali adalah gambaran kita semua yang dipersonifikasi lewat sosok wanita yang melakukan perjalanan itu. Masing-masing dari kami adalah sepenggal tutur dan sesobek perca fenomena Rayya. Sembari menikmati kopi dan makanan kecil, dimalam yang renyah itu, kami berseloroh “Jangan-jangan, kalau penulis ceritanya bukan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), kita tidak akan menontonnya?”. Tentu saja tidak hanya karena beliau, ini adalah karya istimewa hasil sentuh tim Picklock, mbak Westi, dengan bisikan-bisikan dari Sabrang, Mbak Dewi, juga figur-figur penting lain. Dan gurauan itu tak kami bahas lanjutkan. Dilingkaran tersebut, kami sadar, Cak Nun seperti air terjun, yang tak habis-habis, tidak kering, tempat kami merapat membasuh wajah dan tubuh dengan nilai-nilai yang tidak cukup hanya dinikmati, tapi dilakukan, sebenar-benarnya. Lalu ketika mengetahui beliau menulis film itu, apa daya, kami terpesona. Ditengah gelak kemesraan yang julur melipat, dalam hawa sepoi malam tersebut, kami menggali. Mengonfirmasikan apa yang ditangkap pada layar putih bioskop dengan suasana batin masing-masing. Merayu Rayya untuk lebih lambat menari, agar pergerakan tubuhnya, liuk iramanya, dapat dicerna lebih gurih. Terutama saya, seorang penonton di deret bangku belakang, yang kedinginan. (es) Untuk sedulur-sedulur Jamaah Maiyah, mbak Viva Westi, Mbak Dewi Umaya, dan Sabrang Damar Panuluh. Selamat!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI