(Mencumbu Jakarta Dinihari)
Menyusuri jalanan utama ibukota di tengah malam itu seperti memungut ceceran cerita. Yang nempel pada aspal, pepohonan tua yang capek, lampu-lampu berembun, dan halte kosong penuh coretan. Sewaktu sebagian besar warga Jakarta tengah pulas, mengkerangkeng kelelahan siang pada alas tidurnya.
Barangkali saya orang yang berlebihan, jika menyimpulkan, bahwa penduduk Jakarta adalah salah satu dari golongan orang-orang yang kuat dimuka bumi. Betapa tidak? Berani hidup dan bertahan dikota ini saja, sudah menjadi keistimewaan tersendiri. Setiap pagi berpapasan dengan kemacetan yang menjengkelkan, mengatur napas kesabaran terhimpit tekanan jam kerja, berjaga dari ancaman liarnya pengendara jalan raya, bersiasat menghadapi banjir, dan mesti pintar mengelola akal sehat pada keriuhan suasana hidup bersama.
Itu baru segelintir saja, dari setumpuk atau bahkan bergunung-gunung perkara yang kerap mampir di mata serta perasaan. Mungkin saja, tiap kepala di metropolitan ini, dihadapkan pada pertanyaan yang sama, ketika bersinggungan dengan itu semua. “Pikirkan atau abaikan?” lalu orang mesti memilih salah satunya.
Daya tahan manusia Jakarta memang “pinilih”. Kesempitan lorong-lorong ekonomi, keresahaan sosial, juga riuh rendah pasar politik, sanggup ditaklukkan. Seakan menantang “Ayo sini, jurus apa lagi yang hendak kamu keluarkan untuk menghancurkanku?”. Lalu, pergulatanpun tak terhindarkan. Adu kekuatan, layaknya rimba persilatan. Apa sebenarnya yang menjadi bekal kebanyakan penghuni jantung Indonesia ini, untuk senantiasa bertahan hidup? Bukan kali pertama, pertanyaan semacam ini mampir ke benak saya. Menggoda meminta pengamatan.
Di terminal bus, lepas malam, berdatangan kendaraan-kendaraan berpenumpang. mengusung rombongan orang dari daerah-daerah luar Jakarta, dengan tujuan yang beragam. Wajah-wajah muram melawan kantuk. Tangan-tangan tegang menenteng bawaan, bertumpu pada kaki-kaki yang sibuk, membawa tubuh pada arah masing-masing. Saya terka, dari sekian banyak pelaku kesibukan dinihari itu, punya alasan substansial yang sama. Para perantau yang berangkat dari rumah tempat mereka dilahirkan, berjuang atas nama “pembuktian”. Terhadap orang-orang yang mereka cintai melalui pengorbanan diri sendiri. Mereka meniti rentangan tambang pelayanan untuk pihak-pihak lain di sekitarnya.
Seorang pemuda, berasal dari kampung kecil yang terletak di sudut pulau jawa, atau yang berangkat meninggalkan desanya di pelosok bukit sumatera, dan semacamnya, merambah Jakarta, demi melegakan hati Ibunya yang menua. Melancong jauh agar sang pacar tersenyum, karena sudah terbayang bahwa suatu saat ketika lelakinya pulang, keinginannya untuk dilamar sebagai istri, bisa terwujud.
Begitupun dengan barisan pekerja yang terburu mengejar angkutan kota pada pagi hari. Pengemudi motor yang meliuk-liuk disela antrian mobil-mobil merambat. Perempuan yang tergopoh-gopoh mengejar gerobak sayur yang terlewatkan pada sebuah lorong di kompleks perumahan. Semuanya adalah pelaku pelayanan, yang sedang bertugas melalui pergerakan diri sendiri.
Yang membedakan dari semua dinamika perlayanan itu adalah orientasi akhir. Apakah ujung dari pekerjaan “melayani” itu akan berada pada titik kepuasan pribadi atau murni demi pengabdian terhadap pihak lain? Boleh saja, ujung yang pertama disebut sebagai keangkuhan, memupuk segala perbuatan untuk keagungan diri sendiri. Sedang ujung dari ruas kedua adalah sebentuk keikhlasan. Pamrih diletakkan sebagai efek samping dari perbuatan, bukan tujuan pokok. Dia melayani, hanya melayani. Apabila ada imbal balik berupa keuntungan, laba, pujian dan semacamnya, itu resiko.
Tapi hidup tidaklah biner. Kategori-kategori yang meliputinya sangat beragam. Pemilahan tadi hanya untuk memudahkan simulasi. Bahwa secara garis besar, tujuan dari segala kesibukan di dunia ini adalah dua macam seperti yang disitir diatas. Melayani diri sendiri atau melayani pihak lain. Seorang suami bekerja demi melayani istrinya, seorang bapak-bapak tua berjalan tertatih menuju rumah ibadah, bertujuan melayani kehendak pengabdiannya untuk Tuhan. Ibu muda yang kerepotan menenangkan rengek bayinya, bersikeras melayani sang anak, mengentaskannya dari rasa sakit, gelisah, haus atau apapun yang membuatnya menangis.
Adapun jika titik akhir terhadap ikhtiar pelayanan itu adalah kepuasan diri sendiri atau benar-benar “lilo” untuk pihak lain, tentu itu urusan masing-masing. Kata orang jawa, indikator untuk menilai keikhlasaan seseorang adalah “yen Lilo, kudune Lali” . Kalau rela, semestinya lupa.
Saya berbaik sangka, terhadap kebanyakan orang, terutama di Jakarta ini. Bahwa para penghuninya adalah orang-orang yang memang diperjalankan untuk melayani pihak lain. Maka seberapapun sulitnya kehidupan di metropolitan, akan ditandangi dengan gagah berani. Mereka bukan tipikal manusia penuntut yang terlalu. Tidak fanatik bergantung kepada negara, pemerintah daerah atau kebijakan-kebijakan keberpihakan, untuk memayunginya. Mau seberapa ruwet lalu-lintas politik, kahanan sosial, dan grafik ekonomi, asal bisa “keser-keser” cari makan demi keluarga atau orang yang dicintai, tak apa, ketahanan itu tetap ada. Saya suka menyebut, bahwa senjata manusia-manusia Jakarta, juga barangkali Indonesia adalah, Ajian Nglayani Liyan.