Mohon tunggu...
Erik Supit
Erik Supit Mohon Tunggu... profesional -

Independent Writer

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Biasa

14 Mei 2013   07:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:37 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali ada orang yang berkomentar “Mbok sampeyan biasa aja sih menanggapinya…” tiba-tiba saya gagap. Kata “biasa” didalam kalimat itu membingungkan. Dengan segera, saya akan menimpali “Lho, yang biasa itu bagaimana, yang tidak biasa itu seperti apa? Biasamu berbeda dengan biasaku, sebab kita punya kebiasaan yang tidak sama”. Orang dihadapan saya bingung, susah menjawab. Ekspresi terdekatnya, merenges, untuk berkilah.

Berulangkali, saya bertemu dengan ujaran tulis maupun lisan, yang mengandung unsur kata “biasa”. Tidak mudah menakarnya. Sama seperti kata “lumayan” dan “sederhana”. Kalau kedua kata terakhir, saya masih bisa mendapatkan konteks. “Lumayan” adalah merek keripik singkong bikinan tetangga saya, sedang “Sederhana” adalah nama rumah makan padang, yang harganya tidak sederhana.

Kagum lagi, jika ada seseorang yang bersemboyan “Menjadi manusia biasa”. Artinya, ada konsep tentang manusia yang tidak biasa. Lazimnya, petikan yang demikian, justru dilemparkan oleh orang-orang yang ingin disebut istimewa. Demi menjaga citra agar tidak dikesankan sombong, maka dia akan bilang “Ah, saya manusia biasa kok” Atau motif pemakluman. Supaya tidak disalahkan banget-banget ketika melakukan kekeliruan, maka dikatakanlah “Saya kan manusia biasa, tempat khilaf dan lupa”

Bila suatu saat berbelanja ke toko komponen elektronik atau otomotif, kata “biasa” tadi, akan muncul disitu dengan lebih ajaib. Saya pernah, membeli alat suku cadang untuk mobil saya yang sudah tua. Setelah mengatakan maksud tersebut kepada penjualnya, dia lalu membalas “Mau yang asli atau yang biasa?” Saya tidak kaget dengan respon itu. Seperti sudah terbangun kewajaran dalam benak, bagaimana maksud kata “biasa” yang penjual omongkan.

Begitulah, ragam makna dalam kata biasa. Dia serupa skala yang terbuat dari karet. Bisa molor dan mengkeret. Dan kita, memahaminya dalam bias-bias tak jelas. Tapi tak mengapa. Manusia konon begitu, jelas dan buram kerap menjadi satu. Biasa dan tak biasa mampu dipeluk bebarengan. Kadang jadi iblis, berhimpitan waktu, juga jadi malaikat. Lho, kok jadi kesitu obrolannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun