Mohon tunggu...
Erik Supit
Erik Supit Mohon Tunggu... profesional -

Independent Writer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bos

22 Mei 2013   05:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:13 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa tukang parkir yang sering saya temui, punya cara yang sama dalam memanggil pemilik kendaraan. Siapapun itu, tidak peduli berasal darimana dan pekerjaannya apa, disapa sama : Bos! Saya kira, para tukang parkir itu hanya mengambil jalan termudah. Penghuni jakarta sedemikian beragam, mereka tak ingin direpotkan dengan sebutan yang bermacam-macam. Tidak usah menimbang dulu, apakah seseorang yang membawa motor itu mesti dipanggil mas atau uda. Pengendara mobil yang parkir dekat trotoar itu, harus disapa abang atau cak.  Belum lagi jika yang dihadapi adalah perempuan, mereka akan memilah dahulu, antara mbak, uni, ayuk, neng atau lain sejenisnya. Demi menjaga sensitifitas perasaan etnikal pelanggannya, mereka menggeneralisir saja, dengan panggilan Bos! Lebih sederhana. Menghadapi kerumitan, perlu siasat supaya tidak limbung serta bingung. Indonesia yang bhinneka, merupakan kompleksitas nyata yang perlu disentuh dengan jurus-jurus khusus. Sayangnya, bahasa Indonesia sendiri, tak punya istilah khas yang bisa membantu para tukang parkir itu ketika memanggil para pemilik kendaraan yang serba-serbi sukunya. Ini resiko. Apa yang disebut dengan Bahasa Indonesia, memang masih belia dan miskin istilah yang sangkil. Pun dalam ungkapan persapaan. Untuk itu, tak apalah para tukang parkir di Jakarta dan daerah lain, meminjam kata sapa dari bahasa Inggris dialek amerika. Bila ditelusur lebih telaten, kata bos itu asalnya dari Jerman kuno, basa artinya paman. Sewaktu menyeberang ke Belanda, kata itu berubah menjadi baas. Setara dengan sapaan Oom, yang berasal dari belanda juga dan mempunyai arti yang tak beda, paman.  Para pelaut dari negara itu, lalu menggunakan baas sebagai panggilan penghormatan untuk kapten kapalnya. Seiring waktu, American English, memasukkan baas dalam lemari kosakatanya.  Pertengahan abad ke 17, kata tersebut resmi tercantum dengan ejaan baru boss, yang berarti mandor. Sebelum menggunakan boss, mereka hanya mengenal kata master. Sapaan yang terkesan  pongah dan angkuh.  Waktu itu, amerika masih lengket dengan praktik perbudakan. Sapaan master akrab digunakan para budak untuk memanggil petugas pengawas pekerja atau juragannya. Dalam bahasa Inggris kuno, yang merupakan muasal dari kata master – awalnya ditulis mægester – memaknainya sebagai “dia yang mulia”. Isu egalitarianisme melanda Amerika. Para buruh tak mau lagi statusnya dianggap selevel budak. Mereka minta sebutan master digeser. Dipilihlah kata baas yang kemudian berubah menjadi boss sebagai gantinya. Menjelang abad akhir abad 19, remaja-remaja amerika membubuhi makna baru terhadap kata boss, yaitu “cerdas”, berkait dengan konteks penjulukan kemampuan seseorang. Kala ini, seorang yang memiliki kemampuan intelejensia gemilang, dianggap telah merdeka dari belenggu kebodohan. Mereka merdeka seperti halnya para budak yang lepas dari kungkungan majikan. Maka layak mendapat panggilan Boss! Kata sapa adalah ungkapan penghormatan. Tentang jeda usia, perbedaan status sosial, jenjang politik atau beda peringkat ekonomi. Kata itu juga kerap digunakan sebagai basa-basi pergaulan berlandas rasa ketidakenakan, demi menjaga kepekaan perasaan dalam komunikasi. Disamping itu, jumlah manusia bertambah, nama-nama bertaburan, tak mungkin menghafalnya satu demi satu.  Diperlukan istilah penyederhanaan untuk menerabas keragaman yang rimbun itu.  Semangat-semangat tentang egalitarianisme yang mengiringi deru modernitas, menuntut adanya kata pemanggil yang tidak bernuansa menghamba sebagaimana budak. Meskipun, apa yang disebut kesetaraan juga mesti dipahami hati-hati, supaya tak tergelincir kepada aroma pelecehan. Kesetaraan, adalah konsep yang kontekstual, bergantung ruang dan waktu yang khusus. Tidak sembarangan. Pada bidang-bidang tertentu memungkinkan diterapkan,  sedang di lain ranah, itu bisa tidak memungkinkan. Ada kesepakatan-kesepakatan budaya yang telah mengakar dan sungkan bila dilanggar. Contohnya, kita akan cenderung jengah bila memanggil seseorang yang baru dikenal dan disinyalir berumur sebaya, langsung kepada namanya. Kita juga tak enak memanggil tetangga yang lebih tua, kontan menyebut nama. Pernah suatu kali, dalam perjalanan ke pelosok Jogja, seorang teman yang berasal dari sebuah kabupaten di pulau sulawesi ngambek. Pasalnya, seorang anak muda, memanggilnya “Lik”. Sebuah kata sapa yang dalam bahasa Jawa yang berarti paman. Kependekan dari Bapak Cilik. Lazim digunakan untuk menyebut adik dari bapak kandung dan lelaki-lelaki yang dianggap berusia lebih muda dari bapak kandung tersebut. Rupanya, dia keliru tangkap. Dengan gusar, didatanginya pemuda yang memanggilnya “lik” tadi.  “Hei, aku bukan pak likmu, jangan panggil dengan kata itu lagi”. Komunikasi lintas budaya memang tidak mudah. Pemahaman akan latar belakang, ruang lingkup pada sejumlah kata sapa, terlalu ribet untuk ditelaah di jaman yang sibuk. Untungnya, para tukang parkir di Jakarta memiliki cara yang aman untuk memanggil seseorang. Sedemikian amannya, sampai-sampai jarang yang protes “Emang gue Bos lo?” Namun apa daya, mereka memakai kata bos dengan alasan yang kuat : sebab tak ada kata pengganti yang sifatnya seluwes itu. Karena bahasa Indonesia juga tak menyediakan. Seperti ungkapan “Bro” dan “sis” yang belakangan merebak di kalangan anak muda.  Selain sebagai ikhtiar penyederhanaan sebutan, kata “Bro” dan “sis” juga akibat musim. Kata mantan presiden IBM, Jean-Paul Nerriere, kondisi sebagaimana diceritakan diatas disebut sebagai Globlish : Global English. Fenomena yang mekar ketika Istilah-istilah bahasa Inggris bisa merasuk dalam komunikasi bahasa-bahasa lainnya, secara sadar. Motif awalnya adalah kemudahan pergaulan. Ketika orang-orang pengguna berbahasa Inggris mencari cara efisien untuk berkomunikasi dengan warga yang ditemui, saat mereka bertandang ke negara-negara yang tidak menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa utama. Dikemudian hari, seiring deru globalisasi , kecenderungan globlish ini melekat menjadi alat penguat identitas. Jika hendak dianggap lebih cerdas, pintar, modern dan terpelajar, sering-seringlah meyelipkan istilah bahasa inggris ke dalam persapaan. Pengamatan  Nerriere ini ditulisnya dalam buku berjudul Globish The World Over. Pada dasarnya, semua orang ingin dihargai dan dihormati. Pada satu sisi, para tukang parkir hanya  menggunakan istilah yang memudahkan panggilan. Sisi lainnya, orang yang disebut merasa bahwa dipanggil bos adalah pengistimewaan baginya. Saling memudahkan, saling menyenangkan. Mungkin begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun