Mohon tunggu...
Erik Subiyanto
Erik Subiyanto Mohon Tunggu... -

Belajar dari kehidupan Blog saya : www.inspirasidankehidupan.blogspot.com dan www.ssvindonesia.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Derita Seorang Kawan

31 Juli 2012   04:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:25 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun yang lalu, ada seorang teman yang mengabarkan bahwa anaknya sedang dirawat di RS Dr. Soetomo. Putri sulungnya yang berumur 12 tahun divonis menderita Leukimia Akut. Sebuah penyakit mematikan, dimana sel darah putih memakan sel darah merah. Awalnya, siswi kelas 6 SD ini tanpa sebab yang jelas tiba-tiba pingsan saat di sekolah. Tanpa ada gejala sebelumnya, dia divonis menderita Leukimia. Leukimia akut sendiri merupakan suatu penyakit kanker yang sangat cepat dan mematikan.

Teman yang tinggal di Magetan dan berprofesi sebagai guru ini kebingungan saat Dokter mengatakan hal itu. Bingung dan sedih menyatu dalam dirinya. Bingung, karena biaya obat untuk mempertahankan hidup luar biasa mahal bagi ukuran kantongnya. Padahal saat itu gaji guru sangat terbatas dibandingkan saat ini. Untuk sekedar mempertahankan hidup sang putri, saat itu dibutuhkan biaya kurang lebih satu juta rupiah perhari untuk sekali suntik. Dia juga terlihat sangat sedih melihat penderitaan anak pertama yang dicintainya itu. Untuk bisa mendampingi sang putri diapun harus rela meninggalkan keluarga dan pekerjaannya walaupun untuk sementara.

Melihat kondisi itu, aku bersama teman-teman berinisiatif mengumpulkan dana untuk membantu pengobatan putrinya. Kami mencari sumbangan kesana kemari dari para donator dan mereka yang peduli. Kami menghubungi relasi yang bisa diajak untuk meringankan beban sang ayah. Setiap malam kami mengunjungi bapak ini yang terus berjaga di Rumah Sakit. Namun kekuatan kami terbatas, mengingat biaya yang dikeluarkan terus membengkak, sementara suntikan yang menunjang “kehidupan” harus dilakukan setiap hari. Dari hari kehari penyakit itu tampak kian ganas. Dokter tampaknya menyerah, sementara sang ayah terus berharap Dokter bisa menyembuhkannya. Saat bertemu kami, Bapak inipun selalu menangis. Menangis karena tampaknya harapan semakin tipis, sementara biaya berobat yang kelewat mahal. Ia sendiri sudah tidak mampu lagi membiayai pengobatan itu.

Ah, betapa mahalnya biaya untuk pengobatan. Dilorong-lorong rumah sakit ini juga aku perhatikan banyak keluarga pasien, terutama dari daerah yang tidur seadanya di lantai rumah sakit. Memberi kesan kumuh bagi yang melihatnya. Namun kadang-kadang tak ada pilihan lain. Biaya untuk menjaga pasien dengan menyewa kamar di hotel apalagi dikota besar seperti Surabaya pasti mahal. Belum lagi untuk tranportasi dan biaya makan selama menjaga.

Banyak keluarga pasien yang tidak bisa membeli obat yang harus ditebus. Pemerintah juga belum bisa sepenuhnya memberikan jaminan kesehatan yang lebih layak bagi masyarakat umum. Ada teman yang berkomentar, bahwa dokter acapkali juga kurang memberi perhatian bagi golongan masyarakat seperti ini. Mereka lebih suka mengobati pasien yang punya dana yang lebih besar, karena memberi penghasilan yang lebih baik. Slogan dokter pada saat disumpah seringkali ditinggalkan.

Selain itu, biaya obat juga semakin mahal, bahkan bagi masyarakat kelas menengah juga berlaku hal yang sama. Kita sering melihat dan mengalami, ketika keluarga ada yang sakit parah. Seringkali keluarga harus kebingungan mencari sumber dana untuk pengobatannya. Benar sekali, kalau ada slogan yang menyindir “orang miskin dilarang sakit”.

Akhirnya, bapak ini menyerah dengan panggilan yang Diatas….anak yang dicintainya harus rela meninggalkan dunia ini… Ia tampak terpukul dengan kejadian itu. Bahkan setelah lewat bertahun-tahun kemudian, sang Bapak masih belum bisa melupakan kesedihan itu. Berita terakhir yang kami dapat, sekarang Bapak inipun menderita stroke….Itu yang saya dengar dari sang Istri. Ah, derita yang tiada akhir tampaknya….Semoga Tuhan memberi jalan yang terbaik buat keluarganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun