Mohon tunggu...
Erik Subiyanto
Erik Subiyanto Mohon Tunggu... -

Belajar dari kehidupan Blog saya : www.inspirasidankehidupan.blogspot.com dan www.ssvindonesia.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelajaran Bapak Becak

7 Juli 2012   05:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:13 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara Romo Alex yang keras seakan keluar masuk ditelinga Fredi. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Pikiran Fredi melayang-layang bermain di alamnya. Matanya melihat ke mimbar tempat Romo berdiri, namun itu tak lebih dari sebuah tatapan kosong. Kotbah Romo berlalu begitu saja tanpa ada satupun yang hinggap dipikirannya. Hatinya sedang galau.

Sudah beberapa hari ini, dia merasa kecewa dengan situasi pekerjaan dikantor. Ah, kenapa Pak Hadi, pimpinan di kantornya, tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Keuangan. Fredi merasa waktu menunggu selama enam tahun di kantornya sudah cukup lama. Ia menantikan promosi jabatan itu. Dua bulan lalu kesempatan itu sebenarnya terbuka ketika Bu Tia, Kepala Keuangan yang lama mengundurkan diri karena mengikuti suaminya yang dinas di Jakarta. Apalagi Bu Tia sempat mengatakan bahwa dia merasa Fredi bisa menggantikan posisinya. Perkataan Bu Tia seolah-olah jadi pembenaran bahwa dia sudah pantas menggantikan posisi yang ditinggalkan. Namun, harapan tinggallah harapan. Pak Hadi memutuskan mencari pengganti Bu Tia dengan memasang iklan di surat kabar hari Sabtu kemarin. Memang sampai saat ini belum ada satu orangpun yang kelihatannya cocok dengan keinginan Pak Hadi, namun yang pasti Pak Hadi tidak memilih dirinya melainkan mencari orang lain.

Salam damai, salam damai, salam, salam ……” nyanyian itu menyentak di telinga Fredi. Fredi sempat tersenyum kecil ketika ibu disampingnya memberi salam. Iapun mengulurkan tangan menyambutnya. Demikian juga ketika orang-orang di bangku deretan depan dan belakang menyalaminya. Ah, misa sebentar lagi berakhir.

“Pak, ke Jalan Palem berapa ?” tanya Fredi pada bapak becak yang menyambutnya di halaman Gereja Santo Andreas. Penampilan Bapak ini agak berbeda dengan tukang becak lainnya. Ia bersepatu.

“Ya terserah Mas saja.” sahut bapak becak itu sambil tersenyum. Sekilas Fredi merasa mengenal tukang becak ini. Wajah dan senyumnya rasanya pernah ia lihat, tapi entah dimana.

“Lho, terserah saya? Bapak minta berapa ? Nanti saya tidak enak kalau kemurahan nawar…” lanjut Fredi

“Bagaimana kalau lima ribu saja, Mas ?”

“Ya sudah.” Fredi merasa ongkos itu lebih murah dari biasanya. Tanpa basa basi iapun menaiki becak warna biru tua itu. Hal yang sudah lama tidak dilakukannya.Sudah dua hari ini dia tidak bisa menggunakan mobilnya. Mobil tua itu harus masuk bengkel karena harus turun mesin. Petugas bengkel memperkirakan butuh waktu kira-kira empat hari untuk mengerjakan karena bengkel lagi penuh. Kondisi yang menambah jengkel Fredi. Sebenarnya Ia malas untuk pergi kerja. Namun pekerjaan yang menumpuk di kantor memaksanya untuk tetap berangkat dengan kendaraan umum. Sebuah keterpaksaan !!!

“Kotbahnya Romo tadi bagus , ya Mas ?” kata-kata itu keluar dari mulut tukang becak itu.

“ Maaf pak, Bapak bicara apa tadi ?” Fredi agak terkejut mendengar komentar bapak ini.

“Kotbah Romo tadi bagus.”

“Oh yang itu…ya ya memang bagus.” Agak tergagap Fredi menimpali tukang becak itu. Ah, aku sudah berbohong, pikirnya. Bagaimana Fredi bisa tahu isi kotbah Romo kalau pikirannya di dalam gereja tadi masih dipenuhi dengan persoalan jabatan di kantor.Bahkan dia tidak ingat sama sekali bacaan kitab suci hari ini. Perasaan iri dan marah dengan persoalan jabatan itu masih bercampur jadi satu….

“Lho, bapak juga dengar dari luar ?” sambung Fredi dengan sedikit merasa heran. Dia berpikir bagaimana mungkin tukang becak ini juga mendengar kotbah dengan jelas. Di bagian luar gereja memang dipasang beberapa pengeras suara yang membantu umat yang terpaksa duduk di luar gereja karena tidak kebagian tempat duduk. Namun ia tidak yakin suara Romo terdengar jelas ditelinga tukang becak ini.

“Saya selalu suka dengan kotbah Romo Alex, menyentuh Mas….” Untung becak ini memisahkan penumpang dengan wajah bapak ini, sehingga raut keterkejutannya tidak terlihat. Fredi lebih terkejut karena bapak ini menyebutkan nama Romo Alex, seakan-akan dia sudah lama mengenalnya.

“Bapak kenal dengan Romo Alex ?” Fredi bertanya dengan nada selidik.

“Ya kenal baik, dia kan sering ke rumah saya.”

“Lho, kenalnya bagaimana pak ?”

“Anak saya dua orang dibantu beasiswa oleh Romo Alex. Sekarang mereka sekolah di SD Negeri. Romo Alex sering memberi semangat pada mereka.”

“Pak, jangan tersinggung ya, ”sambung Fredi. “Bapak Katolik ?” hati-hati Fredi bertanya tentang ini.

“Hahaha…….itu pertanyaan yang sering saya dengar Mas, saya nggak pernah tersinggung mendengar pertanyaan itu.” Bapak itu tertawa ringan disela-sela nafasnya yang memburu. “Saya Katolik tulen, Mas. Istri dan anak-anak saya semuanya Katolik sejak lahir.”

“Ooo…” hanya itu kata yang keluar dari mulut Fredi. Ia merasa agak heran, karena tidak banyak orang Katolik yang jadi tukang becak di parokinya.

“Saya tadi juga misa pada jam yang sama…duduk dibelakang sebelah kanan”

“Sendirian, Pak ?”

“Sama istri dan anak-anak. “

“Lho, sekarang dimana mereka ? Masih nunggu di Gereja ?”

“Mereka selalu pulang jalan kaki. Biasa mas…. kasih kesempatan bapaknya dapetin duit ….untuk makan. Tadi berangkatnya sama-sama” lanjut bapak itu yang membuat Fredi terhenyak.

“Kalau tidak narik begini nanti bisa-bisa malam tidak makan…hahaha.” tawanya yang lepas membuat Fredi merasa nyaman.

“Hidup jaman sekarang susah Mas, harga kebutuhan naik terus…Tapi Gusti Allah itu baik, Mas. Selalu saja ada rejeki buat saya. Kemarin ada yang bagi-bagi beras di gereja, saya dapat jatah juga.” Fredi terdiam….Tukang becak ini masih mencoba bersyukur, meskipun keadaannya mungkin jauh dari keadaan dirinya. Sesuatu yang bertolak belakang dengan dirinya…entah apa itu.

“Pak, berhenti disini. Ini rumah saya. Ini uangnya, ambil saja semua” Tiba-tiba saja dengan kesadaran penuh, Fredi mengulurkan uang dua puluh ribuan. Ia ingin memberi lebih bapak ini. Tukang Becak itu terperangah. Sejenak ada rona kegembiraan yang terpancar diwajahnya, namun dengan cepat dia menggelengkan kepala.

“Jangan Mas, ini kembaliannya. Terima kasih. Tadi kan kesepakatannya hanya lima ribu”

“Sudah ambil saja, Pak.”

“Terima kasih Mas. Ini saja sudah cukup.” kata bapak becak ini sembari mengulurkan kembaliannya. “Yang ini bukan hak saya…. Sekali lagi terima kasih” katanya sambil tersenyum.

“Ambil saja”

“Terima kasih, Mas” jawab tukang becak itu sambil menggeleng.

“Terima kasih juga.” Fredi memandang bapak itu dengan penuh haru. Tukang becak itu menghilang pelan-pelan di tikungan jalan…

Fredi masih termangu di pintu masuk. Belum pernah rasanya seorang tukang becak menolak kelebihan pemberiannya. Apalagi dia tadi sempat bicara “hak”. Ah, Fredi merasa malu. Ia juga sering menuntut sesuatu di kantor terlebih yang menyangkut tentang hak. Pagi ini sebuah pelajaran ia dapat dari seorang tukang becak. Perasaan iri, marah dan kecewa tiba-tiba menguap begitu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun