Mohon tunggu...
ERIKA AYU ANDINI
ERIKA AYU ANDINI Mohon Tunggu... Lainnya - Politeknik Keuangan Negara STAN

Mahasiswa DIV Manajemen Keuangan Negara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Pengenaan Pajak dengan Landasan UU PPh Bagi Gig Economy

8 Desember 2023   04:40 Diperbarui: 8 Desember 2023   05:03 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Peningkatan fleksibilitas terus terjadi dalam pasar tenaga kerja baik secara global maupun domestik. Fleksibilitas tenaga kerja terjadi dalam berbagai aspek, bentuk, skema, dan jenis. Pekerjaan berbasis kontrak jangka pendek, atas dasar permintaan (on-demand), dan melalui media online (gig worker) merupakan contoh nyata perkembangan skema dan jenis tenaga kerja. Penggunaan teknologi digital dan menguatnya jaring informasi menstimulasi perkembangan segala bidang sehingga menimbulkan disrupsi nyata termasuk dalam bidang tenaga kerja. 

Disrupsi teknologi digital tidak hanya mengambil alih pekerjaan manusia oleh robot, tetapi juga menimbulkan pekerjaan yang bisa dilakukan dengan jarak jauh (remote) yang tidak terbatas waktu dan tempat. Hal tersebut yang kemudian melatarbelakangi lahirnya fenomena gig economy melalui perkembangan gig worker. Gig worker mengacu pada tenaga kerja dengan kontrak jangka pendek independen yang dilakukan melalui platform digital. Tren perkembangan pelaku gig worker sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2014. Namun, dengan adanya pandemi Covid-19 tren tersebut meningkat tiga sampai empat kali lipat dari sebelumnya.

Peningkatan tren gig economy sayangnya tidak diikuti dengan perkembangan implementasi perpajakan di Indonesia, terutama pajak penghasilan. Diketahui hingga saat ini para pelaku gig economy menerima penghasilan tanpa adanya pemotongan pajak. Padahal, peningkatan tren gig economy ini telah membuka potensi besar penerimaan negara melalui pajak. Ketidaksesuaian potensi penerimaan negara dengan penerimaan negara yang sesungguhnya diterima pada akhirnya menimbulkan tax gap.

Tax gap pada pelaku gig worker umumnya disebabkan oleh sulitnya akses data transaksi yang dilakukan karena notabene dilakukan melalui platform digital. Dengan kontrak jangka pendek yang terjadi terus menerus dengan pihak manapun dalam waktu cepat menyebabkan alur transaksi gig worker semakin sulit ditelusuri. 

Apabila masih berpedoman pada aturan self-assessment, dapat dipastikan peluang ini semakin dimanfaatkan dengan tidak dipenuhinya pelaporan pajak. Bahkan, saat ini, tidak ada satu pun regulasi perpajakan yang mengatur spesifik para pelaku gig worker yang bekerja melalui platform untuk memenuhi kewajiban pajak. Jika fenomena tersebut terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan gig woker ini dapat dikategorikan sebagai shadow economy atau underground economy, yaitu aktivitas ekonomi yang pendapatnya tidak dilaporkan dan/atau tidak tercatat pada otoritas pajak dengan maksud untuk menghindari pajak.

Penelitian terdahulu yang membahas mengenai pajak dalam gig economy sebagian besar berfokus pada kurangnya kemampuan pelaku gig economy yang dinilai sama dengan UMKM, dalam melaporkan pengenaan pajaknya. Fokus artikel ini tidak berfokus pada kesalahan atau kurangnya kemampuan pelaku gig economy, tetapi berfokus pada tax gap. 

Fenomena luputnya gig worker dalam aturan perpajakan mengindikasikan bahwa masih diperlukan banyak evaluasi. Pada dasarnya, pemerintah telah mengeluarkan regulasi, tepatnya pada Pasal 21 dan 23 UU PPh yang menjadi pedoman pajak penghasilan Indonesia, namun ternyata selama ini masih membuka peluang tax gap bagi potensi penerimaan negara melalui pajak. Artinya, sudut pandang ini diambil dari sisi pemerintah.

Berbagai keterbatasan terkait perpajakan menjadi peluang besar hilangnya potensi pajak di Indonesia. Fenomena ini dapat diatasi dengan menerapkan metode presumptive tax dengan mengacu Pasal 4 ayat (2) UU PPh. Pemerintah harus mengambil langkah tegas dalam pemajakan penghasilan gig economy. Oleh sebab itu, pemerintah dapat menganalisis fenomena yang terjadi terkait sistem pajak penghasilan bagi gig worker di Indonesia dengan tujuan memberikan strategi berupa regulasi, inovasi, dan edukasi sehingga dapat menjawab tantangan tax gap gig worker.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun