"Pondasi negara kami adalah Pancasila, yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip pertama. Meskipun 88 persen populasi kami adalam Muslim, Indonesia bukanlah negara Islam."Pernyataan di atas disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memberi kuliah umum di Pusat Kajian Islam Universitas Oxford, Inggris, 18 Mei silam. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden, Kalla ingin menegaskan bahwa Islam yang paling besar di Indonesia bukanlah Islam fanatik, melainkan moderat.Pernyataan Kalla ini benar adanya. Namun, agaknya kita harus mulai mencairkan cara berpikir kita untuk tidak selalu menjadikan Islam sebagai sumbu dalam pembicaraan tentang toleransi.
Benar bahwa Muslim adalah mayoritas di Indonesia, seperti yang dikatakan Kalla, namun kita harus menempatkan diri dalam posisi yang seimbang. Tak ada salahnya untuk menempatkan diri seakan-akan tak ada mayoritas dan minoritas di dalam bangsa ini.Karena, pada dasarnya pemikiran tentang mayoritas-minoritas ini adalah biang yang selalu menjadi klaim untuk kelompok yang menentang sifat alamiah kita sebagai masyarakat yang berbeda-beda. Klaim sebagai mayoritas, misalnya, kerap digunakan untuk menolak pemimpin non-Muslim dalam kontestasi politik di atas demokrasi Indonesia.Untuk bisa menempatkan diri secara seimbang, kita harus melihat situasi dengan memahami sejarah.Â
Salah satu contoh, kita harus menyadari bahwa dalam kepurbaannya, Indonesia dilintasi oleh berbagai macam agama, termasuk agama nenek moyang yang kini justru menjadi minoritas bahkan dalam kelompok yang paling minor sekalipun.Dalam konteks Islam, misalnya, perlu pula disadari bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai. Tanpa jalan damai, sulit untuk melihat sebuah agama bisa berkembang sebagai mayoritas di atas tanah yang demikian plural.
Terutama sekali kita harus bebas, baik secara mental dan fisik, untuk tidak mudah dikelabui dengan klaim minoritas-mayoritas. Juga dengan taktik pemaksaan definisi yang cenderung menggunakan istilah.Hanya karena mendengar kata sekuler, misalnya, kita lantas menganggap istilah ini sebagai anti-agama. Hanya karena mendengar kata kafir, lantas kita gampang termakan dengan pengertian yang dimaksudkan oleh para pembenci yang ingin menghancurkan perdamaian kita.Â
"Apa yang mau kita usung ke dunia internasional sebagai kontribusi untuk perdamaian dunia? Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya (bisa) menjadi suatu brand merk Indonesia," kata Anggota Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama, Romo Markus Solo Kewuta, dalam Kongres Diaspora yang dihadiri oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, di Jakarta, 1 Juli lalu.Di dalam negeri, semuanya memang tampak terasa sulit. Namun, satu hal yang harus disadari bahwa kekuatan politik di dunia yang luas ini, sebenarnya mendukung perdamaian Indonesia. Jadi, optimisme adalah perasaan yang wajar untuk mempertahankan Bhinneka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H