Bagi kaum keturunan Cina Indonesia (baca : minoritas) bulan Mei 1998 adalah momentum tak terlupakan. Saat itu, sejak tanggal 4, 12 sampai 15 Mei 1998, kerusuhan berlangsung dengan dahsyat di Medan , Surakarta dan terparah, Jakarta
Kerusuhan Jakarta lebih bersifat kerusuhan rasial terhadap etnis Cina. Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan milik keturunan Cina yang dihancurkan dan dibakar oleh massa. Amuk massa kala itu membuat sebagian besar pengusaha toko keturunan Cina ketakutan atas penjarahan, lalu menulisi toko mereka dengan “ Milik Pribumi” atau “Pribumi” atau “Pro Reformasi”.
Saat itu ratusan wanita keturunan Cina diperkosa dan mengalami pelecehan seksual. Kerusuhan yang setara dengan Kristallnacht di Jerman tahun 1938 ini ditengarai digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis (meski tak ada bukti lengkap soal itu). Aksi itu membuat banyak orang ketakutan dan sebagian masyarakat keturunan Cina memutuskan pindah ke luar negeri, yaitu ke Amerika Serikat, Australia, Singapura dan sebagian ke Bali. Peristiwa itu membuat kehidupan mereka tak sama lagi dengan sebelumnya.
Tak ada kejelasan resmi atas kerusuhan itu, tapi Mei 1998 adalah lembaran hitam sejarah Indonesia yang dipicu dari ketidakpuasan terhadap Orde Baru dan keruntuhan ekonomi Indonesia akibat krisis finansial Asia tahun 1997. Orde Baru berakhir dengan lengsernya Presiden Soeharto dan kemudian terbentuklah kabinet Reformasi di bawah Presiden BJ Habibie.
Reformasi membawa banyak perubahan. 30 tahun dibawah bayang-bayang Soeharto yang begitu represif, masuk ke era Reformasi , membawa masyarakat Indonesia (tanpa kecuali) menghirup arti kebebasan yang sebenarnya. Kebebasan mendapatkan informasi, kebebasan berpendapat, persamaan hak dan beberapa perubahan mendasar lain, banyak mengubah kondisi bangsa kita.
Bagi kaum minoritas, Presiden Abrurrahman Wahid (Gus Dur) yang menancapkan semangat pluralisme membawa angin segar bagi kaum minoritas. Mereka bisa beribadah dan merayakan hari besar mereka dengan damai. Tak perlu lagi mengurus surat-surat ajaib sebagai warga negara yang diperlukan ketika masih Orde Baru. Reformasi membuat kaum minoritas merasa nyaman.
Jadi, ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi gubernur Jakarta, keturunan Cina Indonesia merasa gembira karena yakin Indonesia benar-benar berubah. Mereka melihat harapan. Bukan soal Ahok secara personal menjadi seorang pejabat yang berprestasi di ibukota, tapi kaum keturunan itu merasa bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang sudah dewasa; yang fair dan mau mengakui prestasi kaum minoritas. Tak lagi kondisi seperti sebelum era 2000 di mana kaum keturunan hanya diperas, dan ditindas.
Ketika terjadi sedikit pertentangan ketika Ahok menggantikan Joko Widodo menjadi gubernur, kaum keturunan Cina masih meyakini, bahwa itu hanya ketidaksukaan sedikit orang yang tak senang atas prestasi kaum minoritas. Toh, setiap negara di seluruh dunia punya kelompok antipati seperti itu.
Namun ketika agama dan etnis menjadi senjata untuk memenangkan lawan Ahok dalam Pilkada Jakarta, kaum minoritas menjadi cemas. Mencapai puncaknya ketika Ahok harus menanggung dua tahun penjara karena dianggap lakukan penistaan agama. Vonis itu adalah pukulan telak yang jauh lebih menyakitkan dibandingkan kekalahan Ahok di Pilkada. Terlebih pada kasus itu, hukum dianggap lebih tunduk pada kemauan massa dibanding pertimbangan hukum yang fair.
Jika masalah Suku , Agama, Ras (SARA) adalah ujian bangsa. Dua kali bangsa ini menghadapi ujian yang sama dengan hasil yang sama. Kaum minoritas Indonesia mengalami hal sama ; luka yang sama. Anggapan bahwa Indonesia telah dewasa- pun runtuh di mata mereka. Masa reformasi mungkin tak jadi terlalu berarti karena toh, pemahaman mayoritas bangsa ini terhadap minoritas tak beranjak bila dibandingkan tahun 1998.
Kekecewaan masyarakat meluas, tidak hanya oleh kaum minoritas saja tapi juga masyarakat muslim yang menganggap keputusan pengadilan kali ini salah. Bagi kaum minoritas yang merupakan korban 1998, luka dan ingatan mereka atas peristiwa 98 mungkin belum mengering. Dan peristiwa vonis Ahok di awal Mei, mau tidak mau, suka atau tidak suka membuat mereka teringat lagi akan luka itu. Mei begitu traumatik dan membekas bagi kaum minoritas Indonesia.