Satu drama panjang dan menegangkan usai. Ahok divonis 2 tahun penjara diterima, disela-sela tangis pendukungnya.
 Kisah ini memang layak ditangisi oleh para banyak orang. Betapa tidak, jaksa penuntut umum menyebut 1 tahun penjara dan 2 tahun masa percobaan. Asumsinya dia akan tahanan kota saja. Ternyata yang diterima adalah 2 tahun penjara; hukuman maksimal sesuai yang dituduhkan.. Aktualnya nanti, Ahok mungkin akan dipenjara selama setahun dan kemudian bebas.
 Namun bagi pihak lainnya, hukuman ini diterima dengan gembira. Disebut, vonis itu sebagai memenuhi rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagian besar rakyat puas.
 Bagi saya, kasus ini adalah ujian terberat bagi pemerintahan sekarang. Bagaimanapun Ahok yang dulu adalah pasangan Jokowi semasa gubenur Jakarta akan menjadi pejabat aktif pertama yang harus menjalani pidana karena penodaan agama.
 Apakah pemerintah tercoreng ? Apakah demokrasi tercoreng atau mundur ?
 Bagi saya, tidak. Justru ini momentum bagi banyak orang untuk menakar rasa keadilan itu atas nama demokrasi dan reformasi; menilai dengan nurani apakah hukuman ini layak atau tidak untuk seorang Ahok. Apa alasannya ?
 Saudara, kasus penistaan agama oleh Ahok itu bukan pertama kalinya di Indonesia.
 Ada pola yang sama dari beberapa kasus pernistaan agama di nusantara. Hampir semua kasus yang mirip ini melibatkan massa, dan nyaris semuanya selalu berakhir di penjara.
Kasus ini selalu diawali dengan demonstrasi dan pengerahan massa oleh sejumlah orang, diikuti tindakan aparat penegak hukum, menjadikan tersangka, diadili di pengadilan dan dihukum sekian tahun
 Pertama. Kasus HB Jassin atas cerpen Langit Makin Mendung 1968. Saat itu, sastrawan HB Jassin banyak dikritik setelah menerbitkan cerita pendek Langit Makin Mendung karena penggambaran Allah, Nabi Muhammad dan Jibril. Cerpen itu menyebabkan kantor majalah Sastra di Jakarta diserang massa.  HB Jassin meminta maaf, namun ia tetap diadili karena penistaan dan dijatuhi hukuman percobaan selama satu tahun.
 Dua, kasus Arswendo Atmowiloto -penulis dan wartawan yang dijebloskan penjara karena survey Tabloid Monitor 1990.
 Dia dipenjara selama empat tahun enam bulan setelah keputusan banding di Pengadilan Tinggi dan Mahkahmah Agung, terkait survei untuk tabloid Monitor dengan lebih 33 ribu kartu pos dari pembaca. Dalam survei tokoh pilihan pembaca tersebut, Presiden Soeharto berada di tempat pertama sementara Nabi Muhammad di urutan ke-11.
 Tiga, kasus Lia Aminudin atau Lia Eden, yang mengaku sebagai imam mahdi dan mendapat wahyu dari malaikat Jibril di tahun 2006. Lia -mengaku pernah bertemu Bunda Maria- dijebloskan ke penjara dua kali, yaitu pada Juni 2006, divonis dua tahun karena terbukti menodai agama. Tiga tahun kemudian pada 2009 juga dengan alasan yang sama setelah polisi menyita ratusan brosur yang dinilai menodai agama.
 Tapi ada juga kasus penodaan agama yang tidak menimbulkan tekanan massa dan akhirnya terdakwa dibebaskan; tidak dipenjara.
 Dua kasus itu yaitu Teguh Santosa, pemimpin Rakyat Merdeka online pada tahun 2006 dan harian The Jakarta Post pada 2014.
 Teguh dilaporkan ke polisi karena menerbitkan karikatur Nabi Muhammad seperti yang dinaikkan koran di Denmark, Jylland Posten. Kedua adalah pemimpin redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodingrat, diadukan karena membuat karikatur bergambar kelompok ISIS dengan lambang tengkorak dan ada tulisan Allah.
 Kasus Teguh Santosa misalnya, ada kalangan yang meributkan, menuduh menyebarkan kartun. Tapi kla itu tak ada desakan massa. Dia diajukan ke pengadilan tapi divonis bebas.
 Kembali ke vonis Ahok.
Hal terkuat dari kisah panjang Ahok adalah bagaimana seorang mantan pejabat aktif juga tidak lepas dari keadilan. Pemerintah bahkan Presiden Joko Widodo yang dekat dengan Ahok sejak awal mengatakan bahwa dirinya tidak mengintervensi proses hukum tersebut. Ini hal yang baik dari pemerintahan sekarang, setidaknya menunjukkan semua pihak harus menghargai keputusan hukum.
Hakim tentu sadar bahwa tekanan dari sekitar 200 juta rakyat Indonesia pada kasus ini bukan sesuatu yang mudah. Berbagai emosi, airmata, ujaran kebencian, energi, pikiran, materi, strategi politik teraduk di dalamnya.
Pada akhirnya, persetan dengan supremasi hukum yang harus ditegakkan; tapi bahwa dia harus bisa menjaga rasa batin mayoritas dibanding minoritas. Dan dua tahun itu adalah terbaik bagi rakyat; memuaskan rasa keadilan mayoritas rakyat. Meski kita tidak menutup mata, tekanan masyarakatnyalah yang mendominasi pertimbangan oleh hakim ketua.
 Dan ternyata sekali lagi, kita masih harus belajar banyak apa arti reformasi dan demokrasi. Demokrasi yang bukan soal bagus atau tidak bagus, Demokrasi yang tidak sekadar hitam dan putih. Demokrasi yang tidak hanya soal adil dan tidak adil. Mungkin, kita harus kembali lagi  belajar arti Vox Populi Vox Dei. Di konteks Ahok ini, mayoritas belajar melihat dari kacamata minoritas, dan minoritas belajar melihat dari kacamata mayoritas.
 Bagaimanapun, sejarah akan mencatat. Anak cucu kita akan bisa membaca kisah ini, menceritakannya kembali dan menilai proses perjalanan demokrasi bangsa kita.
 Jika saya mengeluh soal hidup, seorang sahabat sering menasihati ; sabarlah kau sedang berproses; diproses. Proses itu yang membuat kita semakin matang menghadapi kehidupan.
Meski mahal, semoga momentum ini membuat demokrasi bangsa kita semakin matang. Pak Ahok, ini proses demokrasi bangsa, sabarlah !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H