Teguh dilaporkan ke polisi karena menerbitkan karikatur Nabi Muhammad seperti yang dinaikkan koran di Denmark, Jylland Posten. Kedua adalah pemimpin redaksi The Jakarta Post, Meidyatama Suryodingrat, diadukan karena membuat karikatur bergambar kelompok ISIS dengan lambang tengkorak dan ada tulisan Allah.
 Kasus Teguh Santosa misalnya, ada kalangan yang meributkan, menuduh menyebarkan kartun. Tapi kla itu tak ada desakan massa. Dia diajukan ke pengadilan tapi divonis bebas.
 Kembali ke vonis Ahok.
Hal terkuat dari kisah panjang Ahok adalah bagaimana seorang mantan pejabat aktif juga tidak lepas dari keadilan. Pemerintah bahkan Presiden Joko Widodo yang dekat dengan Ahok sejak awal mengatakan bahwa dirinya tidak mengintervensi proses hukum tersebut. Ini hal yang baik dari pemerintahan sekarang, setidaknya menunjukkan semua pihak harus menghargai keputusan hukum.
Hakim tentu sadar bahwa tekanan dari sekitar 200 juta rakyat Indonesia pada kasus ini bukan sesuatu yang mudah. Berbagai emosi, airmata, ujaran kebencian, energi, pikiran, materi, strategi politik teraduk di dalamnya.
Pada akhirnya, persetan dengan supremasi hukum yang harus ditegakkan; tapi bahwa dia harus bisa menjaga rasa batin mayoritas dibanding minoritas. Dan dua tahun itu adalah terbaik bagi rakyat; memuaskan rasa keadilan mayoritas rakyat. Meski kita tidak menutup mata, tekanan masyarakatnyalah yang mendominasi pertimbangan oleh hakim ketua.
 Dan ternyata sekali lagi, kita masih harus belajar banyak apa arti reformasi dan demokrasi. Demokrasi yang bukan soal bagus atau tidak bagus, Demokrasi yang tidak sekadar hitam dan putih. Demokrasi yang tidak hanya soal adil dan tidak adil. Mungkin, kita harus kembali lagi  belajar arti Vox Populi Vox Dei. Di konteks Ahok ini, mayoritas belajar melihat dari kacamata minoritas, dan minoritas belajar melihat dari kacamata mayoritas.
 Bagaimanapun, sejarah akan mencatat. Anak cucu kita akan bisa membaca kisah ini, menceritakannya kembali dan menilai proses perjalanan demokrasi bangsa kita.
 Jika saya mengeluh soal hidup, seorang sahabat sering menasihati ; sabarlah kau sedang berproses; diproses. Proses itu yang membuat kita semakin matang menghadapi kehidupan.
Meski mahal, semoga momentum ini membuat demokrasi bangsa kita semakin matang. Pak Ahok, ini proses demokrasi bangsa, sabarlah !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H