Sebuah puisi esai mini bagi mereka yang terpaksa tinggal di pinggiran, tempat rawan bencana yang seharusnya tidak dihuni
Di Tepian Sungai yang coklat dan pekat.
Berdiri sebuah rumah kayu rapuh dan rengkat.
Dindingnya lapuk penuh lembab berjamur. Ruangannya sempit tak layak dihuni.
Anehnya, manusia tinggal disana.
Bukan satu dua orang, tapi sebuah keluarga.
Entah bagaimana Mereka bisa hidup?
Saling berhimpit di ruang sempit.
Bukan satu dua hari, tapi sudah puluhan tahun dijalani.
Ironis, di Tanah Bumi yang luas.
Banyak manusia membangun rumah hingga istana. Berlomba saling bermewah.
Membangun satu dua, bahkan puluhan hunian.
Namun tak ditinggali, hanya untuk berpamer diri.
Citra validasi, di mata Dunia yang arogansi.
Ketika Banjir memasuki rumah tepi sungai. Merobohkan sisa puing tanpa iba.
Sebuah berita mulai muncul dilayar kaca.
Dengan kata meracau, para pejabat sibuk berdebat,
Tentang angka, statistik, dan solusi sementara.
"Inilah kesalahan membangun rumah di titik rawan bencana!"
Namun tak ada yang bertanya,
Kenapa mereka bertahan di sana?
Apakah sengaja mereka memilih hidup di tepi bencana?
Atau dunia terlalu sempit untuk mereka yang Tak punya?
Penulis: Ririe Aiko
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI