Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Eduparenting, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel dan penggiat puisi esai di Bandung Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena Validasi Sosial:"Kamu Nggak Akan Pernah Dianggap Ada Sampai Kamu Dirasa Berharga"

14 Januari 2025   18:16 Diperbarui: 14 Januari 2025   18:17 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Bingimage.com AI 

"Kamu Nggak Akan Pernah Dianggap Ada Sampai Kamu Dirasa Berharga"

Pernah nggak sih kamu merasa invisible? Seolah dunia nggak peduli sama keberadaanmu, dan keberadaanmu baru dianggap penting kalau kamu sudah "jadi seseorang"? Fenomena ini bukan cuma terjadi di lingkungan kecil seperti sekolah atau tempat kerja, tapi juga mencerminkan cara masyarakat kita memandang orang lain berdasarkan privilege atau status sosial.

Dari sudut pandang psikologi manusia, ini bisa dijelaskan lewat konsep privilege, power, dan validasi sosial. Privilege adalah "kartu akses" yang memungkinkan seseorang mendapat perhatian dan penghormatan lebih dari masyarakat. Hal ini bisa berupa status sosial, kekayaan, pendidikan, hingga penampilan fisik. Orang yang punya privilege cenderung dianggap lebih "bernilai" oleh masyarakat, sedangkan mereka yang nggak punya sering kali diabaikan, bahkan dilupakan.

Ketika seseorang punya privilege, perhatian seperti ucapan "apa kabar?" datang dengan mudah. Semua orang berlomba untuk terhubung, mencari perhatian balik, atau sekadar mendekat untuk mendapatkan keuntungan. Tapi bagi mereka yang dianggap "biasa-biasa saja", situasinya terbalik. Bukan hanya nggak ditanya, keberadaan mereka sering dianggap nggak penting. Bahkan, ada yang secara terang-terangan memalingkan wajah atau menghindari kontak.

Fenomena ini punya akar psikologis yang mendalam. Otak manusia secara naluriah memprioritaskan individu yang dianggap punya "nilai tambah" untuk kehidupan sosial. Konsep ini dikenal sebagai social hierarchy, di mana kita secara bawah sadar menilai seseorang berdasarkan atribut tertentu, seperti kekayaan atau pengaruh. Individu dengan atribut ini dianggap lebih penting untuk mendapat perhatian, sementara yang lain sering kali terpinggirkan.

Dari sini, lahirlah konsep validasi sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia butuh diterima, dihargai, dan diakui keberadaannya. Ketika seseorang menerima perhatian sekecil apa pun, seperti ucapan "apa kabar?" itu memberikan rasa dihargai. Sebaliknya, mereka yang nggak mendapatkan validasi ini cenderung merasa rendah diri, terisolasi, bahkan mengalami tekanan mental.

Namun, ada satu hal yang memperparah fenomena ini di era modern: media sosial. Platform seperti Instagram atau LinkedIn memperkuat narasi bahwa validasi hanya bisa didapatkan jika kita "sukses" atau "berhasil". Media sosial mengajarkan bahwa hidup harus terlihat luar biasa untuk mendapatkan perhatian. Akibatnya, mereka yang menjalani hidup biasa sering kali merasa invisible, bahkan online sekalipun.

Orang-orang dengan privilege sering mendapat perhatian berlebih. Namun, perhatian ini belum tentu tulus. Banyak yang hanya basa-basi atau sekadar mencari keuntungan dari koneksi dengan mereka. Ironisnya, perhatian ini bisa menjadi tekanan bagi mereka yang punya privilege, karena mereka merasa harus terus mempertahankan citra mereka agar tetap relevan. Di sisi lain, mereka yang tidak punya privilege sering merasa gagal atau tidak cukup baik karena tidak mendapat perhatian serupa.

Masalahnya, kenapa manusia lebih menghormati yang punya privilege? Hal ini dijelaskan lewat halo effect. Ketika seseorang memiliki atribut tertentu yang dianggap positif, seperti kekayaan atau jabatan tinggi, atribut lainnya cenderung diabaikan. Kita cenderung menganggap mereka lebih pintar, lebih baik, atau lebih penting, meskipun itu nggak selalu benar. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki atribut ini sering dianggap kurang berharga.

Fenomena ini sebenarnya bisa diubah. Kita bisa mulai dengan mengakui bias yang ada dalam diri kita sendiri. Kenapa kita hanya menghormati orang-orang tertentu? Apa yang membuat kita mengabaikan orang lain? Dengan menyadari ini, kita bisa lebih sadar untuk memberikan perhatian dan validasi kepada siapa pun, bukan hanya mereka yang dianggap "penting" oleh masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun