Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Eduparenting, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel dan penggiat puisi esai di Bandung Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berusahalah Untuk Saling Menolong Bukan Saling Mendorong

11 Januari 2025   05:51 Diperbarui: 11 Januari 2025   06:07 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : bingimage.com AI

Hidup di zaman ini terasa seperti berada di lintasan lari maraton yang tak ada garis akhirnya. Kita berlomba, terus berlari, dan saling mendahului, meskipun tidak jelas siapa yang sebenarnya kita lawan. Lebih mirisnya, banyak dari kita yang justru sibuk mendorong orang lain ke belakang supaya bisa sampai duluan ke puncak, bukannya menolong agar kita semua bisa maju bersama. Kenapa begitu? Jawabannya mungkin sederhana, kita hidup di dunia yang dibangun atas dasar kompetisi. Rasa takut terkalahkan, takut tersaingi, bahkan takut kehilangan tempat di "puncak" membuat banyak orang lupa bahwa hidup bukan sekadar lomba. 

Kita diajarkan sejak kecil bahwa sukses adalah segalanya. Dari mulai di lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat, bahkan lingkungan keluarga, kita terus-menerus didorong untuk menjadi "nomor satu." Nilai bagus, peringkat tinggi, pekerjaan bergaji besar, itulah standar kesuksesan. Tanpa sadar, kita tumbuh dengan mindset bahwa orang lain adalah ancaman. 

Di kantor, kita melihat rekan kerja bukan sebagai teman, melainkan pesaing. Di media sosial, kita membandingkan pencapaian hidup kita dengan highlight palsu dari orang lain. Bahkan di komunitas, sering kali ada gengsi untuk saling membantu karena khawatir akan membuat orang lain lebih sukses daripada kita. Alhasil, muncul budaya saling menjatuhkan. Ketika seseorang mencoba naik, yang lain sibuk menariknya ke bawah. Misalnya, alih-alih membantu rekan kerja yang kesulitan, kita malah sibuk mencibir. Atau saat ada teman yang mulai menjalankan usaha, bukannya mendukung, kita malah mencari kelemahannya. 

Namun, di zaman digital ini, rasa takut itu semakin diperkuat oleh algoritma media sosial. Kita terus-menerus dihadapkan pada pencapaian orang lain, teman yang liburan ke luar negeri, rekan kerja yang baru beli mobil baru, atau tetangga yang menikah dengan pesta megah. Semua itu membuat kita merasa tertinggal, seolah-olah kita harus mengejar atau bahkan mengalahkan mereka agar tetap relevan. Perasaan takut terkalahkan ini membuat kita enggan menolong. Dalam pikiran kita, membantu orang lain berarti memberi mereka kesempatan untuk melangkah lebih jauh, meninggalkan kita di belakang. 

Kenyataan bahwa kita lebih suka saling mendorong daripada menolong membawa dampak besar, bukan hanya untuk orang-orang di sekitar kita, tetapi juga untuk diri kita sendiri. Saat kita sibuk menjatuhkan orang lain, kita kehilangan kesempatan untuk membangun hubungan yang bermakna. Kita kehilangan kesempatan untuk tumbuh bersama. Bayangkan, jika setiap orang lebih memilih menolong daripada mendorong, dunia ini akan terasa jauh lebih ringan. Di lingkungan kerja, saling mendukung bisa menciptakan tim yang lebih solid dan produktif. Dalam pertemanan, saling membantu bisa memperkuat hubungan yang lebih tulus. Bahkan di komunitas, kolaborasi bisa membawa dampak yang jauh lebih besar daripada kompetisi. 

Tapi, ketika kita hanya fokus pada diri sendiri, kita menciptakan jurang yang semakin lebar. Kita kehilangan empati, kehilangan rasa kebersamaan, dan akhirnya kehilangan makna hidup itu sendiri. Tentu, kompetisi tidak sepenuhnya buruk. Dalam dosis yang sehat, kompetisi bisa memotivasi kita untuk berkembang. Namun, jika dibiarkan tanpa kendali, kompetisi bisa berubah menjadi racun yang merusak hubungan dan kebahagiaan kita. Apa solusinya? Jawabannya sederhana yaitu kolaborasi. Kita perlu belajar bahwa membantu orang lain untuk sukses tidak akan mengurangi nilai kita. Justru sebaliknya, ketika kita membantu orang lain, kita juga membantu diri kita sendiri. 

Misalnya, di tempat kerja, coba ubah pola pikir kita. Jika ada rekan yang membutuhkan bantuan, jangan ragu untuk mendukungnya. Keberhasilan mereka tidak akan mengurangi peluang kita, justru bisa membuka pintu untuk kolaborasi yang lebih besar. Di media sosial, daripada merasa iri atau insecure, coba jadikan pencapaian orang lain sebagai inspirasi. Berikan dukungan tulus, bahkan jika itu hanya berupa komentar positif. Hidup ini bukan tentang siapa yang sampai duluan di puncak, melainkan bagaimana perjalanan kita menuju ke sana. Jika kita hanya sibuk mendorong orang lain agar jatuh, apa yang sebenarnya kita dapatkan? Kepuasankah? Apakah kita akan merasa bahagia ketika langkah kita bisa mengalahkan orang lain? Sebaliknya, jika ketika kita memilih untuk saling menolong, perjalanan menuju puncak menjadi lebih bermakna. Kita tidak hanya mencapai kesuksesan pribadi, tetapi juga menciptakan dunia yang lebih baik untuk semua orang. 

Mari ubah cara pandang kita. Mulailah dengan hal kecil: bantu teman yang membutuhkan, dukung rekan kerja yang sedang berjuang, dan jangan ragu untuk berbagi ilmu atau peluang dengan orang lain. Ketika kita membantu orang lain untuk maju, kita juga sedang membangun fondasi untuk kesuksesan kita sendiri. Pada akhirnya, menolong adalah investasi jangka panjang. Apa yang kita tanam hari ini, itulah yang akan kita tuai di masa depan. Ketika kita membantu orang lain, kita menciptakan lingkaran kebaikan yang suatu saat akan kembali kepada kita. Jadi, mari tinggalkan budaya saling mendorong yang penuh dengan rasa takut dan iri hati. Mari bangun budaya saling menolong, di mana kita semua bisa maju bersama. Karena hidup bukan tentang siapa yang menang, tetapi bagaimana kita bisa membuat perjalanan ini lebih bermakna untuk semua orang. 



Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun