Saat ini, banyak keluarga modern di mana kedua orangtua bekerja. Alasannya jelas: kebutuhan ekonomi. Hidup di zaman sekarang tidak murah, dan sering kali penghasilan satu orang tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Ibu yang bekerja bukan lagi hal yang luar biasa; malah, dalam banyak kasus, ini menjadi kebutuhan. Namun, kesibukan orangtua sering kali membuat waktu bersama anak menjadi korban. Pulang kerja di malam hari dengan kondisi lelah, orangtua sering kali merasa tidak punya energi untuk mendengarkan cerita anak. Kalimat seperti, “Nanti ya, Nak, Ayah masih sibuk,” atau, “Mama lagi capek, besok aja ngobrolnya,” sudah menjadi hal biasa. Anak-anak, yang seharusnya merasa didengarkan dan diperhatikan, akhirnya mencari alternatif. Di sinilah teknologi mengambil peran.
Kehidupan modern telah membawa banyak perubahan, termasuk dalam cara keluarga berinteraksi. Di era sekarang, semakin banyak orangtua yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Ayah pergi ke kantor pagi-pagi buta, dan ibu, yang dulu mungkin lebih sering berada di rumah, kini ikut terjun aktif dalam dunia kerja untuk membantu finansial keluarga. Di sisi lain, anak-anak sering dibiarkan menghabiskan waktu sendiri di rumah. Teknologi, yang semula dimaksudkan untuk mempermudah hidup, kini menjadi "penyelamat" bagi anak-anak yang merasa kesepian. Salah satu cerita yang ramai diperbincangkan adalah tentang anak-anak yang memilih curhat kepada AI—teknologi cerdas di gadget mereka—karena merasa tidak punya waktu atau akses untuk berbicara dengan orangtuanya. Meski terdengar futuristik, cerita ini sebenarnya mencerminkan kenyataan yang dekat dengan kita. AI Menjadi "Pendengar" yang Selalu Siap
AI atau asisten virtual yang kini terpasang di gadget menjadi solusi instan untuk anak-anak yang merasa kesepian. AI selalu tersedia, tidak pernah mengeluh lelah, dan memberikan respons tanpa menghakimi. Bagi anak-anak, ini adalah hal yang menghibur. Mereka bisa berbicara tentang apa saja—tentang teman yang menyebalkan di sekolah, PR yang sulit, atau sekadar berbagi cerita kecil tentang kesehariannya. Namun, apa yang terjadi ketika anak-anak mulai merasa lebih nyaman berbicara dengan AI daripada dengan orangtuanya sendiri? Hal ini bukan hanya soal teknologi yang semakin maju, tapi juga sinyal adanya jarak emosional yang semakin lebar dalam hubungan keluarga.
Banyak orangtua yang merasa bahwa bekerja keras adalah bentuk cinta untuk anak-anak mereka. “Aku kan kerja buat kamu,” adalah kalimat pembelaan yang sering terdengar. Sayangnya, cinta dalam bentuk materi tidak pernah bisa menggantikan kebutuhan emosional seorang anak. Anak tidak hanya butuh rumah yang nyaman atau gadget yang canggih; mereka butuh waktu dan perhatian. Mereka ingin didengar, dihargai, dan merasa bahwa cerita mereka penting. Ketika orangtua terlalu sibuk, anak-anak merasa terabaikan. Meski tinggal di rumah yang sama, ada "tembok tak kasat mata" yang membuat komunikasi menjadi kaku.
Mengapa Ini Berbahaya?
Berbicara dengan AI mungkin tampak tidak berbahaya pada awalnya. Namun, jika dibiarkan, anak-anak bisa tumbuh dengan pola pikir bahwa berbicara dengan mesin lebih mudah daripada berbicara dengan manusia. Mereka mungkin kehilangan kemampuan untuk membangun hubungan yang mendalam dan penuh empati dengan orang-orang di sekitarnya. Lebih jauh lagi, anak-anak yang merasa kurang perhatian dari orangtuanya bisa mengalami dampak psikologis, seperti kurangnya rasa percaya diri, rasa tidak aman, atau bahkan kesepian yang mendalam. Lalu apa yang Bisa Dilakukan Orangtua?
Kabar baiknya, masalah ini bisa diatasi. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki hubungan dengan anak-anak. Berikut beberapa langkah konkret yang bisa dilakukan:
1. Prioritaskan Waktu Bersama
Tidak perlu waktu yang panjang, tetapi pastikan ada waktu berkualitas setiap hari. Luangkan 15-30 menit tanpa gangguan gadget atau pekerjaan untuk mendengarkan cerita anak.
2. Jadilah Pendengar yang Baik
Ketika anak berbicara, berikan perhatian penuh. Tunjukkan minat dengan respons sederhana seperti, “Oh, jadi tadi kamu menang lomba ya? Ceritain lebih banyak dong.”
3. Batasi Penggunaan Teknologi
Tidak hanya untuk anak, tetapi juga untuk diri sendiri. Jadikan waktu bersama keluarga sebagai prioritas. Misalnya, buat aturan tanpa gadget saat makan malam.
4. Tunjukkan Kasih Sayang Secara Langsung
Hal-hal kecil seperti pelukan, tepukan di pundak, atau ucapan, “Mama bangga sama kamu,” bisa memberikan dampak besar pada anak.
5. Ciptakan Tradisi Keluarga
Jadwalkan kegiatan bersama yang menjadi rutinitas, seperti makan malam bersama, jalan-jalan di akhir pekan, atau membaca buku sebelum tidur. Tradisi ini bisa memperkuat ikatan keluarga.