Di bawah langit beratap kardus
Keluarga kecil menutup mata
Bukan untuk tidur pulas
Tapi untuk merajut mimpi
Membayangkan rumah beratap genting, Â
Tempat hujan hanya sebuah melodi, Â
Bukan ancaman yang merembesi
Setiap sudut hidup yang pilu
Mereka ingin dinding kokoh yang memeluk, Â
bukan kardus rapuh yang menggigil dihembus angin malam. Â
Di mimpi itu, mereka tak lagi panas
Saat siang menebarkan bara tak kasat mataÂ
Mereka tak lagi dingin
Saat hujan menghantarkan gigil menembus tulang. Â
Namun mimpi itu, Ah, hanya bayangan tipis seperti angin sesekali...Â
Hanya sebatas oase di Padang pasir Â
Realita selalu kembali memanggilÂ
Pada Rumah sempit penuh luka, Â
Penuh isak tanpa suara, Â
Dan air mata yang mengering sebelum sempat jatuh. Â
Mereka yang berada di dunia atas Â
tidur nyaman di ranjang emas, Â
berselimutkan lembutnya keangkuhan. Â
Tak pernah mereka tahu Â
tentang rumah kardus beralas jerami Â
Tempat manusia tanpa Nama
Yang Dianggap bukan Manusia
Apalah artinya jiwa tanpa angka? Â
Tanpa harta atau Tahta
Tuhan, inikah dunia yang Engkau titipkan, Â
Agar manusia saling peduli? Â
Mengapa yang kutemui hanyalah mereka berlomba, Â
Bukan untuk saling peduli Â
Tapi untuk hidup nyaman sendiri Â
Mereka menciptakan istana tinggi, Â
Melindas kemiskinan
Ada hidup-hidup kecil yang dihimpit dan dilupakan. Â
Di dalam rumah kardus ini, Â
setiap malam adalah pertanyaan yang menggema: Â
"Adakah esok yang lebih baik?" Â
Tapi jawaban tak kunjung datang. Â
Yang ada hanya dingin dan lapar Â
yang terus mengukir jejak di tubuh yang lelah. Â
Namun meski hati mereka retak, Â
cinta adalah satu-satunya yang tak pernah patah. Â
Mereka adalah manusia tanpa nama, Â
tapi dengan jiwa yang penuh keberanian. Â
Mereka sadar dunia ini kejam, Â
tapi tetap menggenggam harapan kecil Â
bahwa suatu hari, Â
langit akan memandang mereka dengan lebih adil. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H