Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Eduparenting, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel dan penggiat puisi esai di satupena Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Rumah Kardus

12 Desember 2024   16:19 Diperbarui: 12 Desember 2024   16:47 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Bingimage.com AI

Di bawah langit beratap kardus

Keluarga kecil menutup mata

Bukan untuk tidur pulas

Tapi untuk merajut mimpi

Membayangkan rumah beratap genting,  

Tempat hujan hanya sebuah melodi,  

Bukan ancaman yang merembesi

Setiap sudut hidup yang pilu

Mereka ingin dinding kokoh yang memeluk,  

bukan kardus rapuh yang menggigil dihembus angin malam.  

Di mimpi itu, mereka tak lagi panas

Saat siang menebarkan bara tak kasat mata 

Mereka tak lagi dingin

Saat hujan menghantarkan gigil menembus tulang.  

Namun mimpi itu, Ah, hanya bayangan tipis seperti angin sesekali... 

Hanya sebatas oase di Padang pasir  

Realita selalu kembali memanggil 

Pada Rumah sempit penuh luka,  

Penuh isak tanpa suara,  

Dan air mata yang mengering sebelum sempat jatuh.  

Mereka yang berada di dunia atas  

tidur nyaman di ranjang emas,  

berselimutkan lembutnya keangkuhan.  

Tak pernah mereka tahu  

tentang rumah kardus beralas jerami  

Tempat manusia tanpa Nama

Yang Dianggap bukan Manusia

Apalah artinya jiwa tanpa angka?  

Tanpa harta atau Tahta

Tuhan, inikah dunia yang Engkau titipkan,  

Agar manusia saling peduli?  

Mengapa yang kutemui hanyalah mereka berlomba,  

Bukan untuk saling peduli  

Tapi untuk hidup nyaman sendiri  

Mereka menciptakan istana tinggi,  

Melindas kemiskinan

Ada hidup-hidup kecil yang dihimpit dan dilupakan.  

Di dalam rumah kardus ini,  

setiap malam adalah pertanyaan yang menggema:  

"Adakah esok yang lebih baik?"  

Tapi jawaban tak kunjung datang.  

Yang ada hanya dingin dan lapar  

yang terus mengukir jejak di tubuh yang lelah.  

Namun meski hati mereka retak,  

cinta adalah satu-satunya yang tak pernah patah.  

Mereka adalah manusia tanpa nama,  

tapi dengan jiwa yang penuh keberanian.  

Mereka sadar dunia ini kejam,  

tapi tetap menggenggam harapan kecil  

bahwa suatu hari,  

langit akan memandang mereka dengan lebih adil.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun