"Liburan itu Bukan Pemborosan, Tapi Juga Buat Jaga Kewarasan"
Kompasianer pernah nggak, merasa hidup ini seperti hamster di roda putar? Bangun pagi, buru-buru siapin sarapan, ngurus anak atau pekerjaan rumah, terus lanjut kerja di kantor sampai malam. Belum lagi kalau bos ngasih tambahan tugas yang bikin kepala rasanya meledak. Rutinitas kayak gitu, tanpa jeda, bisa bikin kita nyaris lupa: kita ini manusia, bukan mesin.
Bicara soal mesin, pasti kompasianer juga pernah denger tentang berita robot AI yang "bunuh diri" di Korea Selatan. Dikutip dari Viva.co.id Robot AI dilaporkan bunuh diri karena beban kerja yang terlalu berat. Robot yang diduga bundir itu, baru bekerja kurang lebih selama 1 tahun sebagai robot PNS pertama di Korea Selatan yang bertugas untuk membantu mengirimkan dokumen dan informasi kepada warga lokal. Sebagai robot yang diduga stress karena memiliki beban kerja yang melampaui batas kemampuannya, robot ini mulai berperilaku aneh dengan berputar-putar di satu titik sebelum akhirnya di temukan jatuh dari tangga. Meski berita ini masih kontroversial, tapi ada laporan dari beberapa media yang menyebutkan bahwa AI tersebut sengaja mematikan dirinya sendiri setelah terus-menerus diberi tugas tanpa henti.Â
Fenomena ini menggambarkan realitas pahit bahwa bahkan simulasi kecerdasan pun punya batas. Kalau mesin aja bisa "capek", gimana dengan kita, manusia yang punya emosi dan perasaan?
Nah, ada juga cerita nyata dari Jepang. Seorang wanita, saking stress-nya karena tekanan pekerjaan yang nggak ada habisnya, sampai membenturkan kepalanya ke tiang listrik. Ini bukan cuma cerita horror, tapi fakta tragis yang mencerminkan budaya kerja berlebihan (overworking culture) yang nggak sehat. Di Jepang, fenomena ini bahkan punya istilah khusus: "karoshi" atau kematian karena terlalu banyak kerja. Ngeri banget, kan?
Sayangnya, budaya hustle dan kerja keras 24/7 nggak cuma ada di Jepang. Di Indonesia pun, kita sering ketemu orang-orang yang bangga kalau kerja nggak kenal waktu, bahkan nggak liburan bertahun-tahun. Alasannya? Biar produktif, biar uang terus ngalir, atau takut dianggap malas. Padahal, yang namanya liburan itu bukan cuma soal senang-senang atau buang-buang uang, tapi lebih ke kebutuhan.
Terus emang kalau kerja terus, itu uang beneran ke kumpul nggak? Pengelolaan finansial yang mapan memang bagus, untuk mengantisipasi hal-hal tak terduga di depan, tapi jangan jadi orang yang terlalu pelit sama diri sendiri. Sampai kadang kita lupa, kita nggak pernah ngerasain nikmatin hidup karena fokus kerja dan kerja! Kaya juga nggak, Tau-tau udah jadi Tua!
Setidaknya dalam hidup, kita harus sedikit berjeda, menikmati apa yang semesta hadirkan untuk kita. Alam, gunung, sawah, pantai, senja dan semua hal yang bikin kita bersyukur jadi manusia.Â
Liburan itu kayak recharge baterai.
Kalau baterai ponselmu terus dipakai tanpa diisi ulang, lama-lama ponsel itu bakal mati total. Begitu juga dengan otak dan tubuh kita. Kita butuh waktu buat istirahat, buat rehat dari segala rutinitas yang bikin penat. Bukan cuma tubuh yang perlu istirahat, tapi juga pikiran.
Menurut riset dari American Psychological Association, liburan bisa membantu menurunkan tingkat stres, meningkatkan kesehatan mental, bahkan bikin kita lebih produktif setelahnya. Sebuah studi lain dari University of Tampere di Finlandia juga menemukan bahwa orang yang rutin liburan cenderung lebih bahagia dan lebih sehat dibanding mereka yang nggak pernah liburan. Jadi, kalau kita berpikir liburan itu pemborosan, coba pikir lagi: mana yang lebih mahal, liburan atau tagihan rumah sakit karena burnout?
Pernah nggak kompasianer ngerasa lebih segar setelah jalan-jalan, walaupun cuma seharian? Entah itu ke pantai, gunung, atau sekadar staycation di hotel terdekat. Alam punya efek terapi yang luar biasa buat mental kita. Suara ombak, udara segar di pegunungan, atau sekadar berjalan-jalan di taman kota bisa bikin stres berkurang drastis. Bahkan, studi menunjukkan bahwa menghabiskan waktu di alam terbuka bisa meningkatkan hormon endorfin, alias hormon kebahagiaan.