Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Eduparenting, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel dan penggiat puisi esai di satupena Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Tuntutan Multitasking, Bikin Istri Gampang Tantrum

9 Desember 2024   17:38 Diperbarui: 9 Desember 2024   17:44 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : bingimage.com AI


Kenapa sih cewek kalau udah nikah gampang Tantrum?

Padahal sebelum menikah dikenal super kalem, ngomongnya lembut kayak turunan bangsawan, eh tiba-tiba setelah menikah jadi gampang tantrum? Sedikit-sedikit sensi, dikit-dikit ngambek, bahkan kadang teriakannya bisa menyamai speaker di tempat hajatan, Sebenernya apa sih yang bikin perubahan drastis ini? Yuk, kita bahas!
Waktu masih single atau pacaran, cewek biasanya hidup di "princess mode." Diperhatiin, dimanja, dan kalau ngeluh soal sesuatu, biasanya langsung dapet solusi atau minimal dapet perhatian manis. Istilahnya, mereka nggak harus mikirin hal yang terlalu ribet. Paling mentok cuma mikirin tugas kuliah, kerjaan, atau drama kecil-kecilan sama temen. Jadi, emosinya lebih stabil karena tanggung jawab yang dipegang belum sekompleks setelah menikah.

Nah, begitu status berubah jadi "istri," dunia princess berubah jadi dunia multitasking yang nggak ada habisnya. Kenapa? Karena dalam budaya kita yang cenderung patriarki, cewek itu punya daftar to-do list panjang banget yang nggak ada habisnya. Mulai dari ngurus anak, ngurus rumah, ngurus suami, sampai tetap dituntut menjaga penampilan dan bahkan ikut membantu perekonomian keluarga. Bisa dibayangin nggak, gimana hectic-nya menjalani semua itu dalam sehari?

Ngurus anak sendiri aja udah jadi full-time job yang nggak ada liburnya. Bangun pagi harus siapin sarapan, mandiin anak, anter-jemput sekolah, nemenin belajar, sampai nyiapin mereka tidur malam. Belum lagi urusan rumah yang harus selalu rapi, bersih,  dan nyaman. Kalau ada cucian numpuk atau piring kotor, banyak cewek yang malah merasa "guilty," padahal itu kerjaan semua penghuni rumah tapi tetep yang ketiban itu semua nggak lain adalah istri alias si Emak.

Selain itu, suami juga butuh perhatian. Masak makanan favorit, nemenin ngobrol, sampai jadi "support system" kalau suami lagi stres di kerjaan, semua itu sering jadi tanggung jawab istri. Tapi gimana kalau istri juga lagi capek? Tetap aja, mereka sering dituntut untuk keep calm dan nggak ngeluh.

Di tengah kesibukan itu, ada lagi tuntutan untuk tetap tampil menarik. Katanya biar nggak "kalah" sama temen atau, lebih parah lagi, biar nggak dibandingin sama cewek lain. OMG, pressure-nya nyata banget! Dan parahnya, banyak istri sekarang juga ikut bekerja atau punya usaha sampingan untuk membantu keuangan keluarga. Tapi bukannya tugas rumah tangga jadi berkurang, malah tetap full load. Ini sih namanya double burden.

Dengan seabrek tugas kayak gitu, wajar banget kalau mental load istri jadi lebih berat. Mental load ini adalah beban pikiran yang nggak terlihat, tapi dirasakan terus-menerus. Kalau nggak ada support system yang baik, efeknya bisa bikin istri gampang tantrum alias sensi abis. Ditanya dikit aja langsung nge Gas jawabnya! Bayangin deh, dari pagi sampai malam, seorang istri udah kerja keras untuk keluarga, tapi kalau ada satu hal yang "off" sedikit aja, misalnya anak rewel atau suami lupa buang sampah, emosinya langsung meledak. Itu bukan karena dia "bawel" atau "nggak sabar," tapi karena dia udah kelelahan secara fisik dan mental.

Salah satu akar masalahnya adalah budaya patriarki yang masih kental di masyarakat kita. Laki-laki sering dianggap cukup menjalankan tugasnya dengan "cari nafkah" saja. Sementara itu, perempuan harus multitasking untuk urusan rumah tangga dan tetap dianggap "wajar" karena katanya, "Itu kan kodrat istri." Aduh, siapa sih yang bikin aturan kayak gini? Saat istri mencoba mengeluh, biasanya tanggapannya malah negatif. "Namanya juga istri, ya harus multitasking lah!" atau "Kok gampang capek sih? Kan udah biasa kerjaan kayak gitu." Padahal, ini bukan soal "biasa" atau "nggak biasa," tapi soal berapa banyak beban yang dipikul. Nggak heran kalau akhirnya banyak istri yang merasa nggak dihargai dan berujung pada burnout.

Yang namanya rumah tangga, harusnya jadi tim, bukan kompetisi siapa yang lebih capek. Suami juga harus aktif membantu, mulai dari urusan anak sampai hal kecil kayak nyapu atau cuci piring. Kalau istri ngeluh, dengerin dulu tanpa nge-judge. Kadang mereka cuma butuh didengar, bukan langsung disuruh "sabar." Selain itu, istri juga butuh waktu buat diri sendiri. Entah itu nonton drama Korea, tidur siang, atau sekadar scroll TikTok tanpa diganggu. Masyarakat juga perlu lebih supportive dan nggak gampang nge-judge ibu rumah tangga. Kalau lihat ada istri yang "tantrum," coba deh kasih simpati, bukan kritik.

Jadi, fenomena istri gampang tantrum setelah menikah itu bukan cuma soal "sifat" atau "watak" yang berubah, tapi lebih ke beban multitasking yang nggak manusiawi. Daripada menyalahkan istri yang terlihat emosional, mending introspeksi: apa suami udah bantu cukup? Apa masyarakat udah cukup mendukung? Karena, di balik setiap istri yang tantrum, ada kelelahan yang sering kali nggak terlihat.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun