Pengangguran masih menjadi masalah serius di negara kita. Berbagai cara telah diupayakan pemerintah, salah satunya adalah dengan mengadakan job fair sebagai wadah mempertemukan pencari kerja dengan perusahaan. Namun, sejauh pengalaman pribadi saya dan beberapa kolega, belum pernah ada yang berhasil mendapatkan pekerjaan melalui job fair. Mengapa demikian? Masalahnya bukan hanya pada skill yang dimiliki, tetapi juga pada syarat pelamar kerja yang sering kali tidak masuk akal. Â
Realitas Absurd di Dunia Kerja Â
Bayangkan, ada perusahaan yang mensyaratkan pelamar kerja berusia maksimal 22 tahun dengan pengalaman kerja minimal dua tahun. Pertanyaan besarnya: bagaimana mungkin? Pada usia 22 tahun, kebanyakan orang baru saja menyelesaikan pendidikan tinggi. Bagaimana mungkin mereka bisa memiliki pengalaman kerja dua tahun? Persyaratan seperti ini tidak hanya tidak masuk akal, tetapi juga mencerminkan minimnya empati perusahaan terhadap realitas kehidupan pencari kerja. Â
Masalah ini semakin diperburuk dengan tawaran gaji yang tidak sebanding. Ada perusahaan yang menawarkan gaji di bawah Rp2 juta untuk pekerjaan yang mensyaratkan pengalaman kerja panjang dan kualifikasi tinggi. Ini jelas merupakan bentuk eksploitasi. Tidak heran jika banyak orang memilih untuk menganggur daripada menerima pekerjaan yang tidak menghargai keahlian dan pengalaman mereka. Â
Diskriminasi dalam Perekrutan Â
Selain syarat pengalaman yang tidak realistis, diskriminasi dalam rekrutmen juga menjadi penghalang besar bagi pengangguran untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa perusahaan mensyaratkan status pernikahan tertentu, jenis kelamin tertentu, bahkan batas usia yang tidak relevan dengan pekerjaan itu sendiri. Misalnya, seorang pelamar yang sudah berusia di atas 40 tahun sering kali ditolak meskipun ia memiliki keahlian yang mumpuni. Padahal di negara-negara maju, seperti Jepang dan Jerman, usia bukan penghalang untuk mendapatkan pekerjaan selama seseorang memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Â
Di Jepang, misalnya, masyarakat lanjut usia tetap bekerja dan produktif. Mereka dipekerjakan berdasarkan keahlian, bukan usia. Hal ini membantu mengurangi tingkat pengangguran sekaligus menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera. Di Jerman, sistem pendidikan vokasi yang terintegrasi dengan dunia kerja memungkinkan pelajar mendapatkan pengalaman kerja sambil belajar, sehingga ketika lulus, mereka langsung siap bekerja tanpa perlu menghadapi tuntutan pengalaman kerja yang absurd. Â
Fokus pada Keahlian, Bukan Formalitas Â
Solusi untuk mengatasi pengangguran di Indonesia adalah dengan mengubah paradigma rekrutmen perusahaan. Alih-alih memprioritaskan usia, status pernikahan, atau syarat pengalaman yang tidak masuk akal, perusahaan harus lebih fokus pada keterampilan. Contohnya, sektor teknologi di negara seperti Amerika Serikat lebih mementingkan portofolio kerja dan kemampuan individu daripada latar belakang pendidikan formal. Â
Jika perusahaan di Indonesia mau membuka peluang bagi semua kalangan, termasuk mereka yang tidak memiliki pengalaman kerja formal tetapi memiliki keterampilan relevan, angka pengangguran akan berkurang secara signifikan. Selain itu, sistem pelatihan kerja yang kolaboratif antara pemerintah dan perusahaan perlu diperkuat untuk menciptakan tenaga kerja yang siap bersaing. Â