Hari Guru selalu menjadi momen spesial. Di hari itu, penghargaan terhadap profesi guru melambung tinggi. Ucapan terima kasih mengalir deras, dari para siswa, wali murid, hingga pejabat pemerintah. Namun, di balik perayaan dan penghormatan tersebut, ada pertanyaan yang seolah-olah menggantung di udara: "masihkah ada anak-anak yang bercita-cita menjadi guru?"
Pertanyaan ini pernah saya ajukan langsung kepada murid didik saya. Dengan penuh rasa ingin tahu, saya menunggu jawaban mereka. Namun, alih-alih mendengar mimpi besar seperti menjadi guru yang menginspirasi, jawaban mereka justru membuat hati saya tercabik. Salah satu murid menjawab dengan polos, "Jadi guru susah cari makan, Bu. Kuliahnya mahal, gajinya kecil." Â
Seakan belum cukup, murid lainnya menambahkan, "Takut masuk penjara, Bu." Saya tertegun. Jawaban itu membuka kenyataan pahit tentang bagaimana profesi yang seharusnya menjadi pondasi pendidikan malah kian jauh dari penghargaan yang layak. Â
"Kenapa Anak-Anak Tidak Lagi Ingin Menjadi Guru?" Â
Jawaban-jawaban polos itu sebenarnya mencerminkan realitas di sekitar kita. Anak-anak zaman sekarang bukan lagi sekadar bermimpi. Mereka adalah generasi yang terpapar informasi dengan sangat cepat, melihat fakta-fakta yang terjadi pada guru di sekitar mereka. Â Kuliah untuk menjadi guru memang tidak murah. Setelah lulus, gaji yang mereka dapatkan sering kali tidak sebanding dengan pengorbanan dan beban kerja yang mereka pikul. Guru harus datang lebih pagi, pulang lebih sore, membawa pekerjaan ke rumah, tetapi penghasilan mereka sering kali tidak cukup untuk kebutuhan dasar, apalagi untuk hidup sejahtera. Â
Dan tentang jawaban "Nggak mau Jadi Guru Bu, takut masuk penjara" Ini bukan hal yang mengada-ada. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak kasus guru yang harus berurusan dengan hukum karena laporan dari murid atau wali murid. Guru yang mencoba mendisiplinkan siswa dilaporkan melakukan kekerasan. Guru yang bersuara lantang dituduh mencemarkan nama baik. Bagaimana anak-anak bisa memandang profesi ini sebagai sesuatu yang layak diperjuangkan jika sosok guru lebih sering terlihat sebagai korban ketidakadilan? Â
Guru: Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang Terlupakan Â
Slogan "pahlawan tanpa tanda jasa" mungkin pernah menginspirasi banyak orang untuk menjadi guru. Namun, slogan ini kini lebih terasa seperti ironi. Guru, yang menjadi penentu masa depan generasi muda, justru sering kali dibiarkan berjuang sendiri. Â Banyak guru di Indonesia yang harus menjalani hidup penuh keterbatasan. Untuk sampai ke sekolah, mereka harus menggunakan sepeda motor tua yang sudah aus. Setelah mengajar seharian, mereka masih harus mencari pekerjaan sampingan untuk menambah penghasilan. Ada yang menjadi ojek, pedagang kecil, bahkan petani. Padahal, pekerjaan utama mereka sudah sangat berat. Â
Apalagi jika kita berbicara tentang guru honorer. Mereka mengajar dengan dedikasi yang sama seperti guru PNS, tetapi gaji mereka sering kali jauh di bawah standar. Tidak jarang, gaji guru honorer hanya cukup untuk makan beberapa hari. Jika mereka sakit atau menghadapi situasi darurat, mereka terpaksa meminjam uang atau mencari bantuan. Â
Profesi Guru di Negara Lain
Jika kita melihat negara-negara maju, profesi guru dipandang sebagai pekerjaan yang mulia dan dihormati. Di Finlandia, misalnya, menjadi guru adalah impian banyak orang. Gaji mereka tinggi, pelatihan berkelanjutan tersedia, dan mereka mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Â Namun, di Indonesia, penghargaan terhadap guru sering kali sebatas kata-kata manis. Pemerintah mungkin menyampaikan ucapan terima kasih dalam pidato-pidato, tetapi kenyataannya, perhatian terhadap kesejahteraan guru masih jauh dari memadai. Â Jika kita ingin mengembalikan martabat profesi guru, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memberikan penghargaan yang layak. Gaji guru harus ditingkatkan agar mereka bisa hidup dengan nyaman tanpa perlu mencari pekerjaan sampingan. Selain itu, pendidikan untuk calon guru harus dibuat lebih terjangkau, sehingga siapa pun yang memiliki panggilan untuk mengajar tidak terhalang oleh biaya kuliah yang tinggi. Â
Hal lain yang tidak kalah penting adalah memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi guru. Jangan biarkan guru merasa takut untuk mendidik dan mendisiplinkan siswa. Mereka harus merasa bahwa tugas mereka dihargai dan didukung, bukan justru menjadi ancaman. Â Selain itu, pemerintah perlu melakukan kampanye besar-besaran untuk mengembalikan citra positif profesi guru di mata masyarakat. Anak-anak harus kembali memandang guru sebagai teladan yang patut diikuti, bukan sebagai profesi yang penuh penderitaan. Â
Hari Guru, Momen untuk Merenung Â
Hari Guru bukan sekadar momen untuk memberikan ucapan terima kasih atau bunga kepada guru. Ini adalah waktu bagi kita semua untuk merenung. Apa yang telah kita lakukan untuk mendukung guru? Apakah kita sudah memperjuangkan kesejahteraan mereka? Â