Pagi ini saya membaca sebuah postingan menarik di Instagram @sherlynavita, tentang PPN RI Tertinggi ke-2 di ASEAN tapi UMP terendah ke-6 di Dunia. Membaca postingan itu membuat saya pun mencari informasi yang lebih banyak, sekaligus merenung kembali, tentang sudah tepatkah kebijakan kenaikan PPN ini? Sementara rakyat dengan penghasilan mengacu pada standar UMP saat ini saja, masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sulit untuk mencukupi kebutuhan harian, jangankan untuk menyisihkan tabungan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja realitanya masih banyak yang menggunakan jasa pinjaman online.Â
Sebagai orang awam yang berpikiran simpel, saya sempat berpikir "Kenapa tidak gaji para menterinya saja yang dipangkas?" Biar kesenjangan kemiskinan tidak terlalu tinggi dan setidaknya rakyat kecil yang tempat tinggalnya jauh dari kata layak dan rawan bencana, bisa merasakan bagaimana rasanya tinggal di tempat nyaman tanpa khawatir dengan kelaparan.Â
Tertinggi Kedua di ASEAN, UMP Indonesia Masih Terendah Keenam di Dunia: Beban Baru bagi Rakyat Kecil
Pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan. Dengan tarif PPN 11 persen saat ini, Indonesia sudah menempati peringkat kedua tertinggi di ASEAN setelah Filipina. Jika kenaikan ini direalisasikan, masyarakat harus menghadapi tekanan ekonomi tambahan di tengah upah minimum provinsi (UMP) Indonesia yang berada di urutan keenam terendah di dunia.
PPN Tertinggi di ASEAN: Sebuah Kontradiksi
PPN merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar. Di ASEAN, rata-rata tarif PPN berkisar antara 7 hingga 12 persen. Sebagai perbandingan, Thailand menetapkan PPN sebesar 7 persen, sementara Singapura dan Malaysia masing-masing berada di angka 8 dan 10 persen. Kenaikan menjadi 12 persen membuat Indonesia hanya kalah dari Filipina, yang menetapkan tarif PPN sebesar 12 persen sejak beberapa tahun terakhir.
Namun, ada perbedaan mendasar antara Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya yang menetapkan tarif PPN tinggi. Negara seperti Singapura dan Malaysia memiliki sistem pendukung sosial yang lebih mapan, termasuk subsidi langsung, akses kesehatan, dan pendidikan yang terjangkau. Indonesia, dengan tingkat kemiskinan yang masih tinggi dan ketimpangan pendapatan yang mencolok, belum memiliki fondasi ekonomi yang kuat untuk menerapkan kebijakan seperti ini tanpa konsekuensi berat bagi masyarakat bawah.
UMP Indonesia: Jauh dari Kesejahteraan
Kebijakan kenaikan PPN ini menjadi ironi ketika dikaitkan dengan rendahnya UMP di Indonesia. Menurut laporan terbaru, UMP Indonesia hanya lebih tinggi dari beberapa negara di Afrika dan Asia Selatan. Bahkan, dengan kenaikan UMP 2024 sebesar 5,26 persen, daya beli buruh masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
Bayangkan, seorang pekerja dengan UMP di kota besar seperti Jakarta harus membayar biaya hidup yang terus meningkat. Mulai dari harga bahan pokok, sewa tempat tinggal, hingga transportasi---semua ini sulit tercukupi, terlebih jika mereka memiliki tanggungan keluarga. Kenaikan PPN menjadi 12 persen akan semakin membebani pengeluaran rumah tangga, yang pada akhirnya justru menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Efek Ganda pada Kehidupan Rakyat
Kenaikan PPN, tanpa disertai penyesuaian signifikan pada pendapatan masyarakat, akan berdampak langsung pada daya beli. Saat ini saja, banyak keluarga di Indonesia harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan harian. Dalam kondisi terburuk, istri harus bekerja ganda untuk membantu suami, sementara anak-anak dititipkan di tempat penitipan anak karena orang tua harus bekerja lebih lama.
Kenaikan PPN tidak hanya memengaruhi harga barang, tetapi juga biaya jasa dan kebutuhan pokok seperti listrik, air, dan pendidikan. Dalam kondisi masyarakat yang sudah babak belur dengan inflasi dan kenaikan harga bahan bakar, kebijakan ini berpotensi meningkatkan angka kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Daripada menaikkan tarif pajak, pemerintah seharusnya lebih fokus pada efisiensi pengelolaan anggaran dan pengawasan belanja negara. Transparansi penggunaan pajak juga menjadi isu penting yang harus diatasi agar masyarakat lebih percaya bahwa kontribusi mereka digunakan untuk kepentingan bersama, bukan hanya segelintir elit. Selain itu, reformasi pada struktur gaji pejabat negara juga perlu dilakukan. Gaji pejabat tinggi yang mencapai puluhan bahkan ratusan juta per bulan sangat kontras dengan upah buruh yang hanya beberapa juta rupiah. Pemangkasan gaji pejabat dapat menjadi langkah simbolis sekaligus nyata untuk menunjukkan solidaritas dengan rakyat kecil. Langkah lainnya adalah memberikan subsidi langsung kepada masyarakat yang paling terdampak kenaikan pajak. Subsidi ini bisa berupa pengurangan biaya pendidikan, akses kesehatan gratis, atau bahkan bantuan tunai langsung yang bersifat sementara.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen tanpa penyesuaian signifikan pada UMP dan kebijakan perlindungan sosial akan menjadi beban baru bagi masyarakat. Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan ini, mempertimbangkan kondisi ekonomi rakyat kecil, dan mencari solusi yang lebih berimbang. Dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan pro-rakyat, kebijakan ekonomi seharusnya tidak hanya fokus pada peningkatan pendapatan negara, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!