Malam itu hujan turun perlahan, mengiringi kesunyian di sebuah rumah kecil di pinggir kota. Dinding-dinding kayunya lapuk dimakan usia, dan atapnya kadang bocor jika hujan deras. Di dalamnya, seorang pria paruh baya, Pak Saman, duduk termenung di sudut kamar. Matanya tertuju pada sepasang sepatu usang yang tergeletak di dekat pintu. Sepatu itu milik anaknya, Arif. Â
Solnya sudah hampir terlepas, warnanya pudar, dan tali-tali yang dulu putih kini berubah menjadi abu-abu kotor. Sepatu itu telah menemani Arif bertahun-tahun, terlalu lama untuk ukuran sepatu yang digunakan setiap hari ke sekolah. Â
Pak Saman memejamkan mata. Ada rasa sakit yang terus menghantui. Seorang ayah, pikirnya, seharusnya ia mampu membelikan sepasang sepatu baru untuk anaknya. Namun, jangankan sepatu, ia bahkan sering membiarkan Arif menahan lapar. Pak Saman menarik napas mencoba menahan rasa sakit yang membuat dadanya sesak.Â
Saman hanyalah seorang pemulung, dengan penghasilan pas-pasan. Ia bukan seorang pemalas yang tak mau bekerja keras, ia hanyalah satu diantara jutaan orang yang ditakdirkan menjalani hidup dengan kemiskinan. Ia selalu bangun lebih awal untuk mengais sampah di pasar dan menjadi kuli panggul serabutan. Dengan banyaknya pekerjaan yang ia kerjakan, tak jua menjadikan hidupnya mapan dan kaya raya. Penghasilannya hanya recehan yang hanya bisa membuat keluarganya bertahan dari kelaparan.
Setiap pagi, Saman hanya bisa melihat Arif pergi ke sekolah mengenakan sepatu sobek itu, tanpa bisa berbuat apa-apa. Ada luka yang ia sembunyikan dalam diam.
Namun, Arif tak pernah sedikitpun mengeluh. Ia tetap pulang dengan senyum, tetap menyapa ayahnya dengan ceria. Seolah sepatu sobek itu tak mempengaruhi semangatnya untuk tetap bersekolah.Â
"Nak, maaf ya Bapak belum bisa belikan kamu sepatu baru..." Saman menahan butiran Airmata yang hampir menetes.
"Bapak nggak usah khawatir, Sepatu Arif masih bisa dipake kok." kata Arif dengan suara yang penuh senyuman.
Pak Saman hanya mengangguk saat itu, tak mampu menjawab. Ia tahu anaknya berbohong demi membuatnya merasa lebih baik. Dan itulah yang membuatnya semakin hancur. Hal paling menyakitkan bagi orang tua adalah ketika ia tidak mampu memberikan apa yang seharusnya diberikan orangtua pada anaknya.
Mendengar itu, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya tumpah. Pak Saman mendekat, memeluk anaknya dengan erat. Di dalam pelukan itu, ia merasakan hangatnya cinta seorang anak yang tak pernah menuntut apa pun, meski hidup terus mengujinya dengan keras. Â
"Maaf ya Nak, aku sudah menghadirkanmu di dunia yang penuh airmata..."Â