Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Penulis Poem, Eduparenting, Trip, dan Ghost Story. Sangat Menyukai Traveling dan Dunia Literasi Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Penyesalan Terbesar Wanita Adalah Menikah, Kok Bisa?

15 November 2024   17:13 Diperbarui: 15 November 2024   17:19 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : bingimage.com AI

Ketika saya melihat sebuah unggahan di Instagram dari seorang selebgram ternama yang mengajukan pertanyaan sederhana tentan, "Hal apa yang paling kamu sesali dalam hidup?" saya dikejutkan oleh jawaban yang mendominasi kolom komentar. Dengan nada humor atau mungkin kesedihan tersembunyi, banyak wanita menjawab, "Menikah." Jawaban ini bukan hanya memicu tawa kecil, tetapi juga membangkitkan rasa penasaran saya. Mengapa begitu banyak wanita yang menyatakan penyesalan setelah menikah? Apakah pernikahan benar-benar seburuk itu, atau ada hal yang lebih mendalam di balik pernyataan tersebut?

Pernikahan dan Ekspektasi yang Terlampau Tinggi

Jika kita analisis lebih jauh, perasaan menyesal ini sering kali bukan semata-mata disebabkan oleh komitmen pernikahan itu sendiri, melainkan oleh ekspektasi yang tidak realistis terhadapnya. Dalam budaya populer, terutama melalui media seperti drama Korea atau novel romantis, pernikahan kerap digambarkan sebagai perjalanan indah penuh kebahagiaan, canda tawa, dan romansa yang tidak pernah pudar. Sang suami digambarkan seperti tokoh utama pria dari serial drama: tampan, kaya raya, lembut hati, dan selalu siap mendukung istrinya kapan pun dibutuhkan. Namun, saat kita memasuki dunia nyata, bayangan ini sering kali runtuh. Kita menikah dengan manusia nyata yang memiliki kekurangan, ego, dan kebiasaan yang mungkin tidak selalu sesuai dengan harapan kita. Konflik kecil seperti perbedaan cara mengatur keuangan, pekerjaan rumah tangga yang tidak terbagi rata, atau bahkan ketidaksamaan visi jangka panjang dalam hidup bisa menjadi pemicu stres. Ketika ekspektasi tidak terpenuhi, kekecewaan muncul, dan akhirnya, muncul perasaan bahwa keputusan menikah adalah sebuah kesalahan.

Realitas Pernikahan: Ujian yang Berjalan Seumur Hidup

Pernikahan sering disebut sebagai "ibadah terpanjang" dalam agama, karena memang penuh dengan ujian yang tak ada habisnya. Kebahagiaan dalam pernikahan tidak datang dengan sendirinya tapi harus diciptakan bersama. Jika anda berekspektasi pasangan anda akan memberikan anda kebahagiaan dengan istilah "treat like a princess" maka bersiaplah untuk menyesal, karena pada kenyataannya akan selalu ada sisi dari pasangan yang akan membuat anda jengkel.  Pernikahan tidak hanya soal cinta yang menggebu di awal, tetapi juga tentang bagaimana dua orang yang berbeda latar belakang dan kepribadian bisa menyatukan visi, saling mendukung, saling menerima, bisa saling memaafkan untuk melewati badai kehidupan bersama.

Dalam praktiknya, hidup berumah tangga bisa menjadi sangat melelahkan, terutama ketika masalah datang bertubi-tubi tanpa memberi waktu untuk bernapas. Dari tanggung jawab finansial, mengurus anak, hingga menjaga hubungan agar tetap harmonis, semuanya bisa menguras tenaga fisik dan mental. Dalam kondisi ini, tak heran jika banyak wanita yang merasa beban itu terlalu berat untuk ditanggung. Apalagi, dalam budaya kita, masih ada norma yang menuntut perempuan untuk mengurus rumah tangga sambil tetap memberikan kontribusi finansial, sebuah tuntutan yang sering kali tidak seimbang dengan apa yang diterima dari pasangan.

Mengapa Menyesal Itu Wajar?

Penyesalan dalam pernikahan bukanlah hal yang aneh atau memalukan. Sebagai manusia, kita cenderung mengevaluasi keputusan besar dalam hidup kita, terutama ketika kenyataan tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Namun, bukan berarti penyesalan ini adalah tanda kegagalan. Sebaliknya, ini bisa menjadi momen refleksi untuk memperbaiki keadaan.

Kadang, penyesalan muncul karena kita merasa "berjalan sendirian" dalam pernikahan. Ketika pasangan tidak lagi menjadi teman bicara, tidak saling mendukung, atau bahkan tidak saling peduli, pernikahan berubah menjadi rutinitas yang hampa. Jika ini terjadi, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah berbicara dengan pasangan dan mencari tahu akar masalahnya. Pernikahan adalah kerja tim, dan keduanya harus mau bekerja sama untuk mengatasi masalah.


Menciptakan Kebahagiaan dalam Pernikahan

Seperti yang sering dikatakan, kebahagiaan dalam pernikahan tidak ditemukan, tetapi diciptakan. Ini berarti bahwa pasangan harus aktif mencari cara untuk menjaga percikan cinta tetap hidup, meskipun itu mungkin membutuhkan usaha ekstra. Hal ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana seperti menghabiskan waktu berkualitas bersama, saling menghargai, dan tidak lupa mengapresiasi pasangan atas hal-hal kecil sekalipun. Namun, penting juga untuk menerima bahwa tidak semua hari dalam pernikahan akan bahagia. Akan ada masa-masa sulit yang menguji kesabaran dan ketahanan kita. Dalam momen-momen seperti ini, dukungan emosional dari pasangan menjadi sangat penting. Jika salah satu merasa lelah atau ingin menyerah, pasangan lain harus siap menjadi penopang, bukan justru meninggalkannya berjalan sendirian.

 Menikahlah dengan Realitas, Bukan dengan Khayalan

Jika Anda adalah salah satu dari mereka yang merasa menyesal setelah menikah, ingatlah bahwa Anda tidak sendiri. Penyesalan adalah bagian dari perjalanan hidup yang penuh dengan pembelajaran. Namun, sebelum menyalahkan pernikahan itu sendiri, cobalah melihat kembali ekspektasi yang Anda miliki sebelum memutuskan untuk menikah. Apakah Anda berharap menikah akan menyelesaikan semua masalah Anda? Apakah Anda berpikir pasangan Anda akan menjadi segalanya yang Anda butuhkan?
Pernikahan bukanlah dongeng, tetapi sebuah kerja keras yang membutuhkan kerjasama dari kedua belah pihak. Jika Anda dan pasangan sama-sama berkomitmen untuk terus berjalan bersama, apa pun badai yang datang, maka kebahagiaan itu bisa ditemukan bersama. Jadi, alih-alih meratapi keputusan yang sudah dibuat, mari fokus pada bagaimana memperbaiki apa yang ada di depan kita. Karena pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan yang harus terus diupayakan setiap hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun