Hari Pahlawan selalu menjadi momen refleksi bagi kita semua untuk menghargai jasa-jasa mereka yang telah berjuang tanpa pamrih demi kebaikan bersama. Namun, di antara mereka, ada sosok yang sering kali luput dari perhatian dan apresiasi, meskipun perannya begitu penting dalam membentuk masa depan bangsa. Sosok itu adalah guru, pahlawan tanpa tanda jasa yang tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, menginspirasi, dan mengarahkan generasi muda.
Munculnya banyak fenomena seputar guru yang viral belakangan ini, membuat dunia pendidikan makin miris, karena  guru seakan ditakdirkan benar-benar Menjadi pahlawan dengan tuntutan etos kerja luar biasa, harus siap menghadapi berbagai jenis karakter siswa dengan kecerdasan berbeda, harus siap bertanggung jawab atas siswa yang terlambat memahami pelajaran, harus siap dengan segala protesan orang tua murid, dan harus siap dengan bayaran yang sedikit, dengan berbagai tuntutan itu, guru pun dihadapkan pada kondisi dilematis antara harus mendidik tanpa boleh sedikitpun menghardik, karena salah sedikit saja, urusan akan semakin rumit, publik akan mulai bergerak menuntut dijalur hukum.Â
Guru yang awalanya dihormati bisa berubah menjadi bahan cibiran sana sini, seakan mereka sampah masyarakat yang lebih hina dari para koruptor yang memakan uang rakyat.
Ungkapan "guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa" tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Kalimat ini seolah mengukuhkan peran besar guru dalam masyarakat. Namun, bagi para guru sendiri, julukan ini tak jarang terasa miris, mengingat realitas yang dihadapi setiap hari. Tuntutan untuk menjadi panutan yang selalu sabar, penuh kasih, dan siap menghadapi berbagai karakter siswa, berbanding terbalik dengan penghargaan yang diterima, baik dari segi materi maupun apresiasi.Â
Banyak guru yang hidup di bawah garis kesejahteraan, dengan bayaran yang jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sementara tanggung jawab yang mereka emban begitu besar.
Profesi sebagai guru menuntut etos kerja luar biasa. Seorang guru harus siap menghadapi berbagai karakter siswa dengan tingkat kecerdasan, minat, dan kemampuan yang berbeda-beda. Ada siswa yang cepat memahami pelajaran, namun ada pula yang membutuhkan waktu lebih lama dan perhatian khusus.Â
Dalam situasi ini, seorang guru dituntut untuk bersabar dan tidak menyerah, karena keberhasilan siswa dalam memahami pelajaran menjadi tanggung jawab moral seorang pendidik.Â
Tidak jarang, seorang guru harus berperan sebagai psikolog untuk membantu siswa yang menghadapi masalah pribadi, sebagai orang tua kedua yang memberikan nasihat, atau bahkan sebagai sahabat yang selalu mendengarkan. Ini semua mereka lakukan tanpa pamrih, demi mencetak generasi yang berakhlak dan berprestasi.
Tidak hanya itu, guru juga harus siap menghadapi berbagai protes dari orang tua murid yang sering kali menuntut tanpa memahami kompleksitas tugas seorang pendidik. Banyak orang tua yang merasa berhak mengkritik metode pengajaran atau mengharapkan hasil instan, tanpa menyadari bahwa pendidikan adalah proses yang panjang dan penuh tantangan.
 Ketika siswa menunjukkan perilaku atau hasil belajar yang kurang memuaskan, tidak jarang guru menjadi sasaran kemarahan orang tua. Ironisnya, banyak yang lupa bahwa karakter dan kebiasaan seorang anak sebagian besar terbentuk di lingkungan rumah.Â