Perjalanan dari Bandung ke Jakarta pagi itu terasa seperti sebuah misi penuh rasa ingin tahu dan antusiasme. Membelah jalan raya, membayangkan keramaian acara yang sudah lama dinantikan, perayaan ulang tahun ke-16 Kompasiana.Â
Setibanya di Jakarta, saya langsung menuju Chillax Sudirman, tempat acara akan digelar. Gedung-gedung tinggi menjulang di sekitarnya menciptakan atmosfer metropolitan yang berbeda, penuh kesan estetik dan semarak, sebuah pemandangan yang membuat langkah kaki semakin bersemangat.
Namun, keterlambatan tak terhindarkan. Saya baru bisa mengikuti acara sekitar pukul empat sore. Meski begitu, saya masih sempat menyaksikan sesi Ratih Kumala, penulis yang namanya sudah lama saya kagumi.Â
Ratih, dengan gaya bicaranya yang tenang, menguraikan proses kreatifnya, terutama dalam menulis Gadis Kretek, novel yang saya sukai karena alur maju-mundurnya yang halus serta penokohan yang kuat. Novel itu seperti terbungkus dalam nostalgia dan nuansa tradisional yang terasa begitu hidup.Â
Setiap kata Ratih di panggung terasa seperti pintu menuju labirin kreativitasnya. Ia membagikan "saus rahasia" dalam menulis, memahami karakter dengan intim, mencintai detail kecil, dan menjaga ritme cerita agar pembaca terbawa tanpa tersadar.Â
Mendengarkannya membuat saya merasa seperti menemukan permata baru dalam dunia penulisan.
Sesi selanjutnya menghadirkan Wregas Bhanuteja, sutradara film "Budi Pekerti", yang membagikan perspektifnya sebagai sineas.Â
Dengan semangat yang tak kalah menginspirasi, ia membicarakan cara-cara menghidupkan narasi dalam medium visual, menjelaskan bagaimana sinematografi bisa menjadi bahasa tersendiri.Â
Saya, yang terbiasa melihat cerita dari sisi kepenulisan, merasa seolah-olah mendapatkan kacamata baru untuk memahami cerita dalam bentuk lain.