Tersembunyi di Jalan Sultan Tirtayasa No.17, Bandung, berdiri tegak sebuah toko yang telah menjadi saksi bisu puluhan tahun perjalanan cita rasa manis tradisional. Toko Kue Sari-Sari bukan sekadar tempat untuk membeli kue, melainkan sebuah perhentian nostalgia bagi lidah yang merindu, bagi ingatan yang ingin kembali. Mengusung konsep dine-in dengan sentuhan tradisional yang kental, toko ini mengajak siapa saja yang datang untuk sejenak menjelajahi waktu, merasakan setiap gigitan dengan pelan, seolah-olah tak ingin lepas dari kenangan yang terselip dalam tiap kue basah yang mereka tawarkan.
Pagi itu, aku melangkah masuk, menyusuri lorong berisi rak-rak kayu yang dipenuhi aneka kue basah dari berbagai daerah di Nusantara. Toko ini berusia lebih dari setengah abad, tetap berdiri tegak meski zaman telah berubah. Interiornya begitu sederhana namun menenangkan, dengan dinding bercat putih yang dihiasi foto-foto kuno. Ada meja dan kursi kayu tua yang seakan-akan memiliki kisahnya sendiri, berdiri kokoh seperti ingin menceritakan bagaimana toko ini telah bertahan begitu lama.
Seperti mengintip mozaik dari masa lalu, aku melihat jajaran kue tradisional yang begitu memanjakan mata mulai dari bika ambon, kue cikak, kue bugis yang dilapis daun pisang, kue serabi, klepon, bolu kukus, onde-onde, dan banyak lagi. Di sini, semuanya tersaji di atas nampan yang berjejer rapih didalam etalase, kita bisa memilih kue yang ingin kita nikmati dengan sistem self-service. Suasana penuh kesederhanaan mengalun dalam alunan klasik, seolah lantunan irama masa kecil yang tak pernah lekang oleh waktu.
Aku mengambil nampan, melirik beberapa pilihan yang tersusun rapi. Kue-kue yang terpajang seolah mengajak bercakap, mengisahkan cerita dari tiap daerah asalnya. Pilihanku jatuh pada beberapa kue favoritku, Bugis ketan hitam, Nona Manis, Lemper, dan bakwan udang. Kue-kue ini serupa perwakilan cita rasa Nusantara yang, meski berasal dari latar belakang yang berbeda, terasa akrab di setiap gigitannya.
Kue Bugis ketan hitam tampak menggoda dengan lapisan daunnya yang hijau, membalut sempurna kue lembut berwarna hitam pekat di dalamnya. Ketika menggigitnya, teksturnya kenyal dan manis legit seolah melumer di lidah, meresap hingga ke dalam hati. Kue ini mengingatkanku pada kedalaman tradisi yang kaya dan penuh makna, bagaikan pelukan hangat yang melindungi kita dari dinginnya dunia luar. Kelembutan ketannya berpadu dengan isian kelapa parut manis yang gurih. Ah, dalam sekejap, aku merasa seperti dibawa ke tempat yang jauh, namun sangat akrab.
Berikutnya, pilihanku jatuh pada kue Nona Manis dengan tampilan tiga lapisnya, putih, merah muda, dan hijau yang menggoda. Kue ini seperti kanvas berlapis-lapis cinta yang lembut. Lapisan hijaunya terasa kenyal, sementara lapisan putih dan merah mudanya memberikan rasa creamy dan lembut saat digigit. Manisnya tidak berlebihan, cukup untuk menghangatkan hati. Nona Manis adalah simbol cinta sederhana dari dapur tradisional, mempertemukan kenyal, lembut, dan manis dalam harmonisasi yang sempurna.
Selanjutnya aku menikmati Lemper yang terbungkus rapi dalam daun pisang, seolah menyembunyikan sesuatu yang berharga. Ketika aku membuka daunnya, aroma harum ketan dan daging ayam langsung menyeruak, seperti salam hangat dari seorang teman lama. Setiap gigitannya memberikan rasa asin gurih yang seimbang, seolah menceritakan sejarah dari masa lampau yang sederhana namun penuh makna. Lemper adalah kelezatan yang penuh ketulusan, tanpa kemewahan, tetapi justru di sanalah kekuatan rasanya tersimpan.
Sebagai penutup, aku mencicipi bakwan udang yang tampak menggiurkan dengan potongan udang yang mengintip di permukaannya. Renyahnya kulit bakwan berpadu dengan kelembutan udang di dalamnya, menghadirkan rasa gurih yang lezat. Bakwan ini seperti sambutan riang di meja makan rumah, mengingatkan pada pertemuan keluarga yang hangat dan penuh canda. Gurihnya laut, dikemas dalam bentuk sederhana, seolah ingin berbagi keakraban yang tak lekang oleh waktu.
Menikmati sajian-sajian ini di tengah suasana toko yang tenang dan sederhana, aku merasa seperti kembali ke masa kecil, ketika setiap kudapan memiliki cerita dan makna. Kue-kue di sini bukan sekadar makanan, melainkan titipan dari masa lalu, yang setiap gigitannya mengajak kita berkenalan lebih dekat dengan budaya dan tradisi nusantara yang selayaknya tetap kita lestarikan.