Ada satu pesona di balik pergerakan kereta malam yang berderak di atas rel, seolah-olah menggelindingkan cerita-cerita tak kasatmata dari mereka yang duduk di dalamnya. Malam itu, aku adalah salah satu penumpangnya, menyusuri perjalanan dari Bandung menuju Yogyakarta dengan kereta ekonomi yang tak lagi seperti dulu, karena sekarang terasa lebih nyaman, bersih, dan lapang. Sebuah pengalaman yang menyerupai aliran sungai tenang, mengalir tanpa terburu-buru, membawa diri ke dalam dimensi waktu yang terasa berbeda.
Malam itu, langit di luar kereta seolah membentangkan selimut hitam pekat tanpa bintang. Hanya ada bayangan bayang-bayang yang samar lewat dari jendela lebar di sampingku, seperti mimpi-mimpi yang terburu-buru pergi meninggalkan malam. Kereta ini bergerak perlahan, namun pasti, seperti hidup yang terus berputar tanpa bisa kita hentikan. Di dalamnya, deretan kursi ekonomi yang pernah mendapat stigma kaku dan keras, kini terasa bersahabat, seolah mengajak penumpangnya beristirahat dengan nyaman.
Dengan tarif yang hanya Rp80.000, aku merasa seperti mendapatkan sepotong kenyamanan dengan harga yang sangat murah. Dulu, ketika orang membayangkan kereta ekonomi, mungkin yang ada di benak adalah sempit, panas, dan pengap. Namun kini, rasanya perjalanan ini seperti menelusuri kenyamanan yang sederhana, namun cukup. Seolah setiap jendela adalah bingkai hidup, dan di dalam gerbong ini, ada beragam cerita yang terbentang di antara para penumpang yang saling diam namun berbagi satu perjalanan.
Seketika, seorang pramugari kereta menghampiri kursiku, menawarkan menu makanan dan minuman. Dalam benakku, terpikir bahwa ini adalah momen tak terduga, ketika perjalanan panjang di malam hari memberikan kesempatan untuk mencicipi hal baru. Aku memesan semangkuk cuangki, sejenis bakso dengan kuah bening dilengkapi bihun, batagor dan siomay goreng. Satu mangkok dibanderol dengan harga Rp25.000, harapanku tak muluk, mungkin hanya semangkuk makanan pengisi perut saja, sekadar mengusir lapar di tengah malam yang dingin.
Namun, ketika sendok pertama menyentuh lidahku, aku tersentak dalam kejutan yang menyenangkan. Rasanya gurih dan hangat, seolah-olah mangkuk itu adalah pelukan yang kubutuhkan di tengah malam. Kuahnya meresap dalam setiap sendok, membawakan rasa yang lebih dari sekadar makanan. Ia menghangatkan tubuhku yang mulai merasakan dingin malam, dan seperti api kecil, rasa cuangki itu perlahan membakar semangat yang sempat redup dalam perjalanan panjang.
Dalam keheningan gerbong, suara kereta yang berdentang dengan ritme konstan menjadi latar musik malam itu. Setiap kali rodanya beradu dengan rel, aku merasa seolah-olah berada di antara barisan puisi yang tak pernah selesai dituliskan. Setiap tikungan yang dilalui kereta, bagiku, seperti metafora hidup, tak ada yang benar-benar lurus dan pasti. Ada belokan, ada kejutan, dan terkadang kita hanya bisa pasrah menikmati perjalanan tanpa tahu pasti apa yang akan ada di ujung sana.
Ketika malam perlahan bertransisi menuju pagi, cahayanya mulai merayap masuk dari sela-sela jendela, membasuh ruang gelap gerbong dengan sinar keemasan. Seperti pelukis yang perlahan memberi warna pada kanvas hitam, perlahan fajar pun muncul dengan kesabaran yang indah. Aku memalingkan wajahku ke luar jendela, melihat panorama yang tak tertandingi, matahari terbit di antara cakrawala, begitu cantik dengan biasnya memecah langit menjadi berbagai gradasi warna. Di sinilah alasan mengapa aku begitu mencintai perjalanan dengan kereta.
Di antara kelokan dan tanjakan rel, hanya kereta yang memberimu kesempatan untuk memandang dunia dengan luas. Hanya kereta yang memberiku kesempatan untuk benar-benar merasa tersambung dengan alam, di mana perjalanan ini bukan hanya soal tiba di tujuan, tapi juga tentang menghargai setiap momen di antara keberangkatan dan kedatangan. Ada keindahan yang sulit dijelaskan ketika melihat langit berubah warna, dari biru gelap menjadi merah muda yang memudar ke oranye, hingga akhirnya tenggelam dalam terang pagi.
Aku menghela napas, merasa bersyukur atas perjalanan ini. Bagiku, kereta bukan sekedar alat transportasi, melainkan perpanjangan dari refleksi diri. Setiap penumpang di dalamnya mungkin datang dengan tujuan yang berbeda, namun pada akhirnya, kita semua adalah pelancong dalam kehidupan. Seperti kereta ini, hidup membawa kita ke berbagai tempat, mempertemukan kita dengan pengalaman-pengalaman baru, serta mengajarkan kita untuk menikmati setiap detik yang berlalu, karena di ujung perjalanan, kita tak pernah benar-benar tahu apa yang menunggu.