Pagi itu, mentari menyusup perlahan dari balik perbukitan, menebarkan kehangatan yang lembut di jalanan yang bersiap menyambut petualanganku. Angin pagi berembus sepoi, membawa harum aroma tanah basah sisa embun malam.
 Mesin motorku meraung pelan, siap mengantarku menembus jarak menuju kota yang sudah lama tak kusambangi, Sumedang. Sebuah kota kecil dengan sejarah panjang dan kenangan yang samar-samar membayang di sudut ingatanku.
Dengan helm yang terpasang erat, aku menatap jauh ke depan, melewati hamparan jalanan berkelok yang dihiasi pohon-pohon rindang. Di sampingku, temanku mengendarai motor dengan tenang, seolah kami berdua adalah dua titik kecil yang melaju menembus arus waktu.Â
Di antara dentuman mesin dan deru angin, terlintas dalam pikiranku bagaimana Sumedang sekarang? Apakah masih sama seperti dulu, ataukah sudah berubah?
Tak lama, Sumedang menyambutku dengan wajah barunya. Kota yang dulu tampak lengang kini berdetak lebih cepat, seakan-akan ia baru saja terbangun dari tidur panjang. Warung-warung kecil di tepi jalan telah bermetamorfosis menjadi deretan kafe yang ramai, dengan papan-papan nama bergaya modern bersanding dengan bangunan lama. Namun, di balik semua itu, aku merasakan bahwa Sumedang masih menyimpan jiwanya yang lama, hangat dan bersahabat.
Sesaat setelah melewati gerbang kota, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah warung kopi sederhana di pinggir jalan. Matahari mulai memanjat lebih tinggi, menciptakan bayangan panjang di sepanjang trotoar. Aku memesan secangkir kopi hitam, dan tak lama kemudian, harum pekatnya membelai penciumanku.Â
Bersama temanku, kami duduk di bangku kayu, menikmati setiap seruput kopi sembari mengobrol ringan tentang perjalanan ini.
"Sumedang sudah banyak berubah ya," kata temanku, menyeruput kopinya dengan pelan. Aku mengangguk, mataku menelusuri jalanan yang sibuk. Kota ini, meski lebih ramai, tetap menenangkan seperti sahabat lama yang tak pernah benar-benar pergi, hanya sekadar berubah rupa.
Setelah puas beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju alun-alun, di mana tujuan utama kami menanti, tahu Sumedang. Di sepanjang jalan menuju alun-alun, pedagang tahu berbaris rapi dengan panci-panci besar yang mengepul.Â