Di sebuah pagi yang masih beraroma embun, aku menapaki jalan berliku menuju Punclut, kawasan di utara Bandung yang terkenal dengan pasar  kagetnya setiap minggu. Udara dingin mengelus wajah, menyapa setiap pori kulit, seperti ingin mengingatkan bahwa hari baru selalu membawa petualangan yang tak terduga.Â
Matahari baru mulai merayap di balik bukit, sinarnya malu-malu menyapa deretan pedagang yang sudah sibuk menata dagangan mereka.
Pasar Minggu Punclut, sebuah oasis bagi para pencinta kuliner tradisional. Suasana ramai para penjual dan pembeli, diselingi aroma masakan yang mengepul dari setiap sudut lapak, membuat suasana pagi ini seolah merayakan keragaman cita rasa Nusantara.Â
Di sini, di tengah-tengah rimba rasa yang beraneka ragam, aku memulai perburuan kulinerku. Bukan untuk sembarang makanan, tapi untuk sebuah kenangan yang tersimpan dalam gigitan kecil manis bernama, jiwel.
Jiwel, sebuah nama yang mungkin tak lagi akrab di telinga generasi sekarang. Namun bagiku, jiwel adalah fragmen masa lalu yang tak lekang oleh waktu. Setiap kali menyebutnya, ingatan tentang masa kecil terlintas, saat aku berlarian di antara keramaian pasar, menggenggam koin pemberian ibu, hanya untuk membeli sepotong jiwel yang legit dan menggoda.Â
Sudah lama aku tak merasakan manisnya, seperti mencari bayangan di antara keriuhan modernitas.
Langkahku terasa ringan namun penuh harapan, mencari jajanan itu di pasar Minggu Punclut. Suasana di sini begitu ramai, seperti simfoni kehidupan yang tak pernah berhenti. Setiap sudut pasar menawarkan sensasi yang berbeda, wangi bakso kuah panas, suara gemericik gorengan batagor di minyak yang mendidih, dan penjual yang dengan riang menawarkan daganganya.
 Tapi hatiku tetap tertuju pada satu pencarian, jajanan kecil yang dulu begitu memanjakan lidah.
Setelah berjalan di antara lorong-lorong pasar yang penuh sesak, mataku menangkap sesuatu yang familiar, lapak sederhana di pojok pasar, dengan kain penutup yang sudah mulai pudar.Â
Di situ, berjejer manis jajanan tradisional yang seolah berdiri menantang zaman. Di antara lemper, nagasari, dan klepon, aku menemukannya jiwel. Bentuknya masih sama, bulat kecil dengan baluran kelapa parut di atasnya.Â