Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Penulis Poem, Eduparenting, Trip, dan Ghost Story. Sangat Menyukai Traveling dan Dunia Literasi Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Surabi dan Solo di Hari Itu

21 Oktober 2024   16:20 Diperbarui: 21 Oktober 2024   16:26 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : galeri pribadi

Ada sebuah waktu di mana perjalanan tak hanya menapaki jarak, tapi juga merentang rasa. Solo, sebuah kota dengan budaya yang kental dan keramahan yang membekas, selalu menjadi tujuan yang menyenangkan. Namun, di antara alun-alun yang tenang, riuh rendah pasar tradisional, dan suara gamelan yang mengalun lembut, ada satu kenangan yang tak terlupa hingga saat ini, kenangan tentang sebuah surabi.

Langit mulai merona jingga kala aku menyusuri jalanan Solo yang sejuk. Angin sore menyapu wajahku dengan lembut, mengiringi langkah-langkah santai yang membawa aku ke sebuah sudut kuliner yang sederhana namun menggoda. Di sebuah warung kecil dengan bangku kayu yang bersahaja, aku menemukan surabi yang dibalut dengan aroma khas daun pisang yang harum. Surabi ala Solo, demikian mereka menyebutnya.

Dengan tangan yang sedikit gemetar karena rasa ingin tahu dan lapar yang menggeliat, aku menyentuh surabi itu. Daun pisang yang melapisinya hangat, seolah menyimpan cerita tentang tanah dan alam. Saat aku membuka lipatan daun itu, aroma gurih santan yang kental seolah menguar menyapa indra penciumanku. Di depanku, surabi itu tampak sederhana, namun kelezatannya sudah berbisik dalam diam.

Aku perlahan menggigitnya. Rasa santan yang gurih langsung meleleh di lidahku. Teksturnya lembut, seperti mengajak aku merasakan kelembutan awan yang terbang rendah di langit Solo yang mulai gelap. Sejenak, waktu seakan berhenti. Rasa gurih santan yang berpadu dengan manis alami adonan surabi membuatku tenggelam dalam sebuah nostalgia yang hangat.

Dalam setiap gigitan, aku merasakan seakan surabi ini adalah titisan rasa dari cinta yang mendalam, cinta pada tradisi, pada alam, dan pada kebersamaan. Aku bisa membayangkan bagaimana tangan-tangan terampil para ibu dan nenek di Solo dengan penuh ketelatenan menyiapkan setiap lembar surabi ini, memastikan adonannya tepat, santannya murni, dan api yang membakar tungku kayu tetap konstan. Mungkin itu yang membuat surabi ini begitu istimewa, ia bukan sekadar makanan, melainkan simbol dari kerajinan tangan yang turun-temurun, dari cinta yang tersembunyi dalam hal-hal sederhana.

Surabi itu, dengan setiap gigitan, membawaku kembali ke momen-momen yang tak lekang oleh waktu. Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, menyisakan jejak-jejak sinarnya di langit yang semakin gelap. Aku duduk di pinggir jalan, menikmati setiap detik yang berlalu, diiringi keheningan senja yang hanya Solo yang bisa berikan.

Terkadang, momen sederhana seperti ini adalah sesuatu yang mewah bagi yang lelah dengan rutinitas. Momen ketika segala sesuatu terasa melambat, ketika waktu seolah mengizinkan kita berhenti sejenak untuk benar-benar merasakan.

Malam pun datang, membawa kesejukan baru. Namun kehangatan dari surabi itu masih tersisa di mulutku, dan di hatiku. Rasanya seolah-olah surabi itu bukan sekadar makanan, ia adalah pengingat akan kehangatan sebuah kota, tentang senja yang tenang, dan tentang bagaimana Solo bisa merangkul siapa saja yang berkunjung dengan begitu lembut.

Ada keheningan yang indah di Solo, terutama di waktu senja, saat cahaya mulai meredup dan kota ini perlahan-lahan memeluk malam. Dan di tengah keheningan itu, surabi yang sederhana ini menjadi kenangan paling berharga yang ku bawa pulang, kenangan tentang rasa gurih santan yang meleleh di mulut, kenangan tentang aroma daun pisang yang membalut kelezatan tradisi, dan kenangan tentang perasaan damai yang jarang kutemukan di tempat lain.

Saat aku meninggalkan Solo, aku sadar bahwa aku telah membawa lebih dari sekadar kenangan tentang sebuah kota. Aku membawa pulang rasa rinduku pada sebuah surabi yang sederhana namun istimewa, yang membuatku ingin kembali. Mungkin suatu hari, ketika aku merindukan senja yang tenang dan hangat itu, aku akan kembali. Bukan hanya untuk menapaki jalanan Solo yang berdebu, tapi juga untuk merasakan lagi kehangatan surabi yang gurih dan manis, yang meleleh di lidah dan di hati, seperti senja di Solo yang tak pernah benar-benar pergi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun