Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Penulis Poem, Eduparenting, Trip, dan Ghost Story. Sangat Menyukai Traveling dan Dunia Literasi Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Antara Menabung dan Self Reward Berujung Doom Spending

4 Oktober 2024   15:00 Diperbarui: 9 Oktober 2024   07:34 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena doom spending adalah istilah yang muncul ketika seseorang berbelanja secara impulsif sebagai respons terhadap stres atau perasaan negatif yang dialaminya. Dalam konteks ini, kita sering menjumpai dua sisi yang bertolak belakang, antara menabung untuk masa depan dan melakukan self-reward melalui pengeluaran yang tidak terencana. Keduanya memiliki argumen dan realita yang perlu dipahami agar kita bisa menemukan keseimbangan yang tepat dalam hidup kita.

Menabung adalah salah satu kebiasaan keuangan yang sangat penting. Dengan menabung, kita menciptakan cadangan dana yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan di masa depan, baik itu untuk kebutuhan mendadak, investasi, atau bahkan pencapaian impian yang lebih besar seperti membeli rumah atau berlibur ke luar negeri. 

Dalam pandangan banyak orang, menabung adalah bentuk tanggung jawab finansial yang seharusnya dilakukan oleh setiap individu, terutama di era ketidakpastian ekonomi saat ini.

Namun, di balik semangat untuk menabung, terdapat juga fenomena doom spending yang mengintai. Ketika seseorang merasa tertekan atau mengalami kegagalan, terkadang mereka mencari pelarian melalui belanja. Belanja bisa memberikan perasaan senang sesaat, mengalihkan perhatian dari masalah yang dihadapi dan memberikan rasa kepuasan instan. 

Sayangnya, perasaan tersebut sering kali diikuti oleh penyesalan setelahnya, ketika seseorang menyadari bahwa mereka telah mengeluarkan uang untuk barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

Salah satu argumen untuk mendukung self-reward adalah bahwa kita sebagai manusia membutuhkan penghargaan atas usaha dan kerja keras yang telah kita lakukan. Terkadang, memberikan diri kita hadiah kecil bisa menjadi motivasi yang baik untuk tetap berprestasi.

Misalnya, setelah menyelesaikan proyek besar di kantor atau berhasil mencapai target pribadi, membeli sesuatu yang kita inginkan bisa menjadi bentuk pengakuan akan jerih payah kita. Self-reward yang dilakukan dengan bijak dapat meningkatkan mood dan membuat kita merasa lebih baik secara emosional.

Namun, masalah muncul ketika self-reward menjadi alat untuk melarikan diri dari kenyataan. Ketika seseorang mengaitkan pengeluaran uang dengan perasaan bahagia, mereka bisa terjebak dalam siklus doom spending. 

Alih-alih merasa lebih baik, belanja impulsif justru bisa menambah beban mental dan finansial. Jabatan atau status sosial yang mungkin kita lihat dari orang lain di media sosial juga dapat memicu perasaan tidak puas, membuat kita lebih berpotensi untuk membelanjakan uang yang seharusnya ditabung.

Selanjutnya, penting untuk mempertimbangkan dampak dari perilaku doom spending terhadap kesehatan keuangan kita. Ketika kita terlalu sering berbelanja tanpa perencanaan, kita mungkin akan terjebak dalam utang. Hutang yang menumpuk dapat menyebabkan stres tambahan, menciptakan siklus yang sulit untuk dipecahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun