Beberapa Orangtua terkadang menerapkan pola asuh strict parent. Mereka beranggapan bahwa masa depan Anak ditentukan berdasarkan ambisi yang dinilai baik dimata orang, tanpa mempertimbangkan keinginan maupun pendapat si Anak. Orangtua beranggapan memiliki hak sepenuhnya terhadap Anak, karena merasa telah melahirkan, mengurus dan membiayai segala kebutuhan si Anak sehingga bersikap over parenting. Mereka yang menerapkan pola asuh seperti ini memiliki kecenderungan bersikap toxic pada si Anak.Â
Menurut sejumlah penelitian Toxic Parenting bisa menimbulkan luka psikologis pada Anak di masa kini dan di masa depan. Pola Asuh yang keliru ini membuat Anak mengalami luka secara psikologis yang sulit dilupakan. Berkaca dari beberapa kasus yang terjadi di sekitar kita, banyak Anak yang sudah dewasa merasa lebih nyaman berkumpul dengan teman-temannya dibanding dengan kedua orang tuanya. Bahkan Anak yang setelah dewasa kemudian berumah tangga merasa enggan mengunjungi orang tuanya, karena tumbuhnya luka masa lalu yang masih membekas di ingatan si Anak. Anak merasa lemah saat kecil karena tidak bisa memberontak, tapi perlahan ketika ia tumbuh dewasa dan merasa memiliki kekuatan, ia mungkin saja akan membalas rasa sakit hatinya dengan cara mengabaikan, menghindari maupun bersikap kasar pada orang tuanya.Â
Saat kita melihat seorang Anak yang sudah tumbuh dewasa bisa berbicara sopan pada orang lain  tetapi berbicara ketus pada orangtuanya, kita pasti langsung melabeli si Anak dengan sebutan "Anak Durhaka". Memang perbuatan tersebut tidak bisa dibenarkan, namun seharusnya orang tua perlu mengevaluasi.
"Mengapa si Anak yang saat kecil terlihat penurut, setelah dewasa tumbuh menjadi keras dan arogan hanya pada orangtuanya? Mungkin tanpa disadari orangtua yang selama ini seharusnya berperan menjadi "Tempat ternyaman" justru sudah menjadi "Luka terdalam" bagi si Anak.Â
Mengingat dampak psikologis dari Toxic Parenting yang begitu lama, hendaknya kita mulai mengevaluasi pola parenting yang kita terapkan, seperti menghindari beberapa sikap yang merusak Anak, diantaranya :Â
1. Memiliki Ekspektasi Berlebihan Pada Anak
Ekspektasi yang berlebihan dari orang tua mengenai masa depan anak, secara perlahan dapat melukai psikologis anak. Dalam pikiran orang tua, ekspektasi tersebut untuk kebaikan anak. Anak akan bahagia jika menuruti apa yang telah orang tua rencanakan untuk mereka. Orangtua tidak mempertimbangkan pendapat dan keinginan Anak. Orang tua terlalu mendominasi kehidupan Anak dalam segala hal, sehingga Anak tidak diberi kesempatan untuk memilih apa yang diinginkannya. Pola parenting konvensional seperti ini, banyak sekali kita temui dalam pola parenting generasi kita terdahulu. Sudah saatnya kita memutus pola rantai tersebut, berikan Anak kebebasan untuk berpendapat, dan menyampaikan mimpi-mimpinya. Sebagai orang tua kita bisa memberinya pandangan tentang baik dan buruknya sesuatu, tanpa harus memaksanya memenuhi ambisi kita.
2. Membicarakan Keburukan Anak didepan Banyak Orang
Membicarakan kejelakan Anak didepan orang lain, akan membuatnya merasa dipermalukan dan rendah diri. Sama seperti orang tua, Anak pun punya perasaan. Terlebih jika orang tua kelepasan menjelek-jelekan Anak dan bersikap kasar pada Anak didepan teman-temannya, ia akan merasa sangat terluka. Perasaan dipermalukan yang ia terima dari orangtuanya akan membekas begitu lama dalam ingatan si Anak dan akan menumbuhkan kebencian yang sulit dihilangkan. Oleh karena itu, sebagai orang tua bersikaplah lebih bijak dalam mengendalikan emosi, jika Anak anda berbuat salah, cobalah untuk tidak memarahi atau menjelek-jelekannya didepan banyak orang, terutama teman-temannya. Â
3. Â Sering Membentak Anak
Tak dipungkiri membentak Anak merupakan kebiasaan yang paling sulit dihindari, apalagi jika Anak sudah ditegur beberapa kali masih tidak menghiraukan, tanpa disadari nada suara mulai meninggi ketika si Anak sudah mulai susah dinasehati. Namun jika hal ini terus dilakukan, Anak akan tumbuh menjadi kasar dan pemarah. Mendisiplinkan Anak dengan bentakan justru tidak akan membuat Anak menurut tapi tindakan tersebut dapat menjadi racun dimasa depan.
4. Bersikap Egois pada Anak
Orangtua yang selalu mengukur dengan perasaannya sendiri tanpa memikirkan perasaan Anak, bisa dikatakan sebagai orangtua yang Toxic. Orang tua dengan tipe ini kerapkali mengasihani diri sendiri, seolah-olah Anak selalu salah dimatanya dan orangtuanya selalu benar. Tipe Orang tua seperti ini, paling enggan meminta maaf karena merasa semua tindakan yang dilakukannya selalu benar. Dimata orang tua, Anak yang tidak menurut dianggap pembangkang dan durhaka, sehingga si Anak terpaksa selalu mengalah. Namun ia akan merasa hidup dalam tekanan dan depresi, karena menahan satu demi satu luka yang ditorehkan orang tuanya. Suatu saat luka itu mungkin akan meledak dan menumbuhkan kebencian yang sulit dihilangkan.Â
5. Â Mengungkit-ungkit KebaikanÂ
Benar bahwa Anak terlahir karena ada orang tua, tapi pernahkah Anak meminta dilahirkan? Setiap Anak terlahir dari komitmen kedua orang tuanya. Segala bentuk pengorbanan yang dikeluarkan untuk mengurus dan membiayai Ani ak adalah bentuk tanggung jawab sebagai orangtua karena adanya komitmen tersebut. Jadi sebagai orangtua hendaknya tidak mengungkit-ungkit kebaikan pada Anak seperti ungkapan-ungkapan
 "Sudah capek-capek diurus, tapi nggak mau nurut!"Â
"Sudah disekolahin mahal-mahal, tapi nggak balas budi ke orang tua!"
Orang tua yang selalu bersikap pamrih di hadapan anak, akan membuat Anak merasa dirinya adalah "Bisnis" bagi orang tuanya, yang kelak harus menghasilkan 'keuntungan'. Hal ini akan membuat Empati Anak hilang pada orangtuanya, ia akan menilai bahwa orangtua adalah Penanam Modal, ia hanya perlu menghasilkan keuntungan bagi orangtuanya. Ia sebisa mungkin akan menghindari interaksi dengan Orang tuanya. Alih-alih balas budi di masa depan, Anak justru akan cenderung menjauhi dan membenci orangtuanya.Â
Menjadi orangtua memang Tidaklah Mudah, dan tidak pernah Ada sekolah untuk menjadi Orang Tua, tapi setidaknya kita bisa mulai mengevaluasi pola parenting yang salah dengan menerapkan pola parenting yang lebih baik lagi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H