Berbicara Nahdlatul Ulama tentang tugas pokok dan fungsinya sebagai organisasi berbasis sosial kemasyarakatan dan keagamaan tentu tidak lepas dari tujuan mengapa NU didirikan.Â
NU yang memang lahir pada masa pergolakan melawan penjajahan kolonial dan berlatar munculnya friksi antar golongan (sekte) keagamaan, tidak boleh dikerdilkan cakupannya hanya sebagai wujud antitesis dari kedua hal tersebut.Â
Generasi NU masa kini harus menerjemahkan khittah perjuangan Nahdlatul Ulama seluas-luasnya hingga ke titik sigma sebagai konsekuensi logis dari sebuah perlambang bola dunia yang bertali melingkar itu.
Mari kita simak Kredo Pergerakan KH Wahab Chasbullah tahun 1950, di Jakarta (2 tahun sebelum NU keluar dari Masyumi) : "Banyak pemimpin NU di daerah-daerah dan juga pusat yang tidak yakin akan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain.Â
Orang-orang ini terpengaruh oleh bisikan orang yang menghembuskan propaganda agar tidak yakin dengan kekuatan yang dimilikinya. Kekuatan NU itu ibarat senjata adalah meriam, betul-betul meriam.
Tetapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda luar biasa yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tetapi hanya gelugu alias batang kelapa."Â
Nahdlatul Ulama yang diumpamakan sebuah meriam di kala itu, tentu sama sekali bukan organisasi sembarangan. Pengelolaan NU yang sembarangan oleh pengurusnyalah yang menyebabkan NU terkesan seperti sebuah organisasi sembarangan.
Nahdlatul Ulama dengan segala perangkat organisasinya adalah satu kesatuan keluarga besar yang dibentuk guna bekerja dan berkhidmah sesuai lini masing-masing.Â
Namun jika kita melihat dari perspektif luas, tidak jarang kita temui antar lembaga bahkan badan otonom di NU yang saling sikut bahkan saling tidak peduli satu sama lain.Â
Kesadaran semesta kader bahwa semua anak kandung NU adalah sebuah keluarga besar yang harus saling asah asih asuh, saling membantu, saling mendukung dan saling bergandengan tangan demi mencapai satu tujuan bersama belum begitu kentara.