Saat berkunjung ke perpustakaan sebagian besar anak-anak sekolah tidak terlalu peduli dengan buku. Anak-anak itu justru sibuk dengan aktivitas bermain dan bersendau-gurau. Itu semua karena rendahnya keinginan untuk membuka buku. Tidak terbiasa membaca, itulah penyebab anak-anak enggan membaca buku. Meskipun buku-buku itu sudah diberi gambar. Bahkan komik pun tidak semua anak suka membacanya. Tapi kalo sudah gambar bergerak di TV atau di gadget, anak-anak betah menyimak dalam waktu yang lama.
Kita bisa saksikan sendiri jika anak-anak disuruh membaca buku, pasti akan mudah mengantuk. Tetapi jika menonton tv atau bermain game, betah sampai malam. Di dunia modern ini, sejak kecil kita memang terbiasa menonton, dan juga ditonton.
Ada semacam tekanan yang mendorong anak-anak bermain game dan menonton TV. Dituliskan kata tekanan di sini, karena terkait dengan permasalahan yang terjadi di sekitar anak-anak itu. Jenuh atas permasalahan yang ada di sekitarnya (masalah keluarga, tugas sekolah, dll.), membuat game dan TV menjadi pelarian yang sempurna.
Membaca membutuhkan kerja otak yang kadang melelahkan. Bandingkan dengan acara hiburan di TV, yang isinya senda gurau. Begitu juga dengan bermain game, hanya bersenang-senang dengan trial and error. Coba-coba, jika gagal permainan bisa diulangi lagi.
Kesempatan untuk mencoba-coba inilah yang membuatnya terasa menyenangkan dan menantang. Sedangkan jika berhadapan dengan buku, kita cenderung serius dan harus menjawab dengan benar. Jika salah menjawab akan mendapatkan cap sebagai anak bodoh, lambat berpikir, dan sebagainya.
Sebagian besar dari kita, tidak suka membaca, karena sejak kecil kita merasakan betapa jenuhnya kita saat membaca buku. Jenuh karena pikiran kita mengidentifikasi buku sebagai bagian dari pelajaran di sekolah dan soal-soal yang harus dijawab dengan benar. Apa yang kita lihat di saat kecil, ternyata meresap dan terikat kuat di dalam pikiran kita hingga dewasa.
Sebuah survey Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Connecticut State Univesity di tahun 2016, menunjukkan bahwa minat baca Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara (Kompas.com, 29/08/2016). Peringkat ini sangat rendah, untuk seukuran bangsa Indonesia yang besar. Ada yang bilang hal ini wajar terjadi di Indonesia, sebab masyarakat Indonesia terbiasa dengan budaya bertutur. Melihat banyaknya cerita rakyat tidak tertulis di tengah-tengah masyarakat, pernyataan tersebut ada benarnya juga.
Namun, jika kita lihat banyaknya, kitab-kitab kuno yang lahir di tanah Nusantara (Sutasoma, Negarakretagama, dll), rasanya selain sebagai bangsa penutur, kita juga dilahirkan sebagai bangsa yang berjaya dalam dunia literasi (membaca dan menulis). Membaca tidak bisa lepas dari kegiatan menulis. Seorang yang sedang menulis, selalu membutuhkan bacaan untuk membantu pikirannya mengeluarkan gagasan.
Budaya literasi, sebenarnya telah hadir dan mengakar kuat di tengah masyarakat Indonesia sejak dulu kala. Namun, sejak datangnya penjajahan, budaya tersebut mengalami kemunduran. Di masa penjajahan, rakyat di nusantara ini, sangat sibuk dengan urusan perut. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan, selain mencari nafkah untuk bertahan hidup. Membaca dan menulis di waktu itu, hanya untuk kompeni dan ningrat saja.
Sampai saat ini, membaca dan menulis tetap kalah dengan perkara perut. Orang-orang sibuk dengan berbagai macam daya upaya untuk memenangkan persaingan memenuhi kebutuhan hidup. Di tambah dengan banyaknya acara hiburan di televisi, yang menjejali otak anak-anak kita dengan senda gurau setiap pagi, siang, dan malam, tanpa ada batasan. Akibatnya budaya literasi menjadi tidak diperhatikan lagi dan dianggap tidak penting. Bahkan budaya bertutur pun mulai digusur oleh budaya "cengengesan".