Mohon tunggu...
Eric Valega P
Eric Valega P Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Salah satu siswa di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, sejak 4 Agustus 2014. Masih tetap mencari identitas diri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ujian Akhir Sudah Dekat, Saatnya Menyontek?

27 Februari 2012   16:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:51 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13303821012145306707

[caption id="attachment_173909" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Sesungguhnya, berbohong hanya berujung tunggal, yaitu petaka.

Eric V. P.

Ujian akhir sudah menjadi hal yang kabarnya ditakuti banyak siswa kelas 6, 9, 12, dan (mungkin) mahasiswa semester akhir. Begitu takutnya, hingga banyak yang memesan kunci jawaban, menyiapkan strategi berkirim pesan saat ujian atau menyusun cara berbuat curang tanpa diketahui "pengawas". Apakah jangan-jangan sudah siap dengan seperangkat cara berbuat curang, hingga tinggal menunggu momennya?

Dari banyak pihak, ada tekanan untuk membuat tingkat kelulusan setinggi-tingginya. Di sisi lain, ada pula perjanjian untuk melaksanakan ujian secara, yang katanya, jujur. Siswa pun menjadi seperti potongan tomat segar dalam roti isi, yang senantiasa ditekan oleh roti yang di atasnya. Apakah ini salah? Dari konsep awal saja sudah dapat diperkirakan bahwa menekan siswa dapat membuat siswa mencari berbagai jalan pintas. Pengawas yang bertugas pun seolah hanya menjadi patung di atas kursi, mendiamkan berbagai aksi siswa yang dijaganya. Kalau tidak diam pun, sibuk mengurusi urusan pribadinya. Hasilnya? Tingkat kelulusan tinggi yang semu. Saya jauh lebih menyukai tingkat kelulusan di bawah 50% apabila memang benar-benar dilaksanakan dengan baik dan jujur, dibandingkan tingkat kelulusan lebih dari 95%, namun dengan berbagai kecurangan, bahkan apabila saya pun termasuk yang kurang beruntung. Dari pandangan berbagai pihak, kebanyakan akan memilih seperti yang saya kemukakan, walaupun di lapangan memilih yang sebaliknya. Saya lebih memerlukan fakta di lapangan daripada teori, sehingga saya menyadari bahwa mungkin akan ada sebagian yang memilih tingkat kelulusan tinggi. Dari sana, sudah tampak dengan jelas bahwa ujian akhir sebagai momen menyontek berjamaah, yang mungkin perlu dimasukkan dalan rekor MURI, sebagai tamparan sangat keras bagi pelaku-pelaku pendidikan.

Dengan permisalan potongan tomat segar dalam roti isi tadi, tomat pun akan lebih bebas apabila tidak terhimpit oleh roti. Hal yang sama berlaku pula bagi siswa, sehingga siswa mencari berbagai cara untuk bisa keluar dari tekanan tadi. Ada yang belajar sendiri atau dengan kelompok belajar dengan rajin, mengikuti bimbingan belajar bergaransi (yang garansinya menurut saya lebih sekedar media promosi, mengingat tingkat kelulusan yang saat ini sangat tinggi), dan tak pelak lagi, ada yang mencari jalan pintas. Untuk yang terakhir biasanya dapat digambarkan sebagai penyakit mental yang menjangkiti banyak siswa. Dari namanya saja sudah tertera penyakit mental, tak mudah menyembuhkannya. Kalau sudah terjerat oleh nikmatnya menyontek (menurut orang-orang yang suka menyontek, menurut saya bukan nikmat, namun derita), saat ulangan harian pun "kambuh". Walau begitu, kejadian paling parah terjadi saat ujian akhir (kecuali pengawas ujian yang bertugas adalah anggota tim tata tertib, yang lebih disegani siswa). Kalau sudah seperti ini, benar-benar menjadi nyata bahwa sesaat lagi adalah saatnya menyontek.

Penyelenggara ujian sudah berusaha mengendalikan dengan segala cara. Apa daya, hal itu masih terjadi. Kunci jawaban, baik palsu maupun asli, beredar. Kadang diadakan transaksi pembelian "kunci jawaban", dengan harga sangat tinggi, walau kebebarannya diragukan. Peraturan pun umumnya tak lebih ialah formalitas belaka, sebab pelanggaran ada dan dibiarkan. Pengawas, di manakah kuasamu? Kau jual demi reputasi diri? Belilah kuasamu lagi! Kuasamu semata yang menentukan segalanya.

Dengan anggaran ujian dengan jumlah fantastis, sebagai contoh UN, yang melebihi Rp500.000.000.000,00 (500 miliar Rupiah), yang bisa dipakai untuk membeli pesawat jarak dekat dengan kapasitas kurang lebih 100 kursi, sebagai contoh Airbus A318. Dana sebanyak itu ditilik dari penggunaannya bisa pula disebut sebagai dana pembobrokan moral, mengingat hasilnya yang justru meningkatkan kebobrokan moral generasi muda. Pantaskah ujian dengan dana yang besar dijadikan sarana menyontek? Silakan anda jawab dan renungkan.

Sebagai siswa, yang tengah bergumul mencegah wabah menyontek menjangkiti diri, saya hanya dapat menyampaikan saran untuk melakukan introspeksi atas tindakan-tindakan buruk, terutama menyontek, yang sudah atau hendak dilakukan, dan mengubahnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan ujian menjalankan fungsinya, sebagai alat pengukur kemampuan siswa. Dengan itu, semua pihak pun diuntungkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun