Mohon tunggu...
Rika Melati
Rika Melati Mohon Tunggu... -

Blogger I pharmacist I wanderer find me https://www.ericstrins.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Cerita Soal Mengurus Visa Amerika Serikat

30 September 2013   06:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:12 1751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agak terlambat. Senin pagi semua dilakukan dalam keadaan serba malas. Pukul setengah 6, terlambat setengah jam dari rencana semula, saya baru berangkat dari kos. “Mbak tau tempatnya?”, tanya abang sopir, “Enggak, cuma bawa alamatnya. Kayaknya sih di dekat monas. Nanti cari-cari dulu deh”, jawab saya sembari nyengir. Malu bertanya sesat di jalan. Untungnya kala itu saya cukup sekali bertanya.

Kedubes Amerika Serikat (AS), gak kayak kedubes lainnya yang berupa gedung besar dan mewah. Lebih mirip camp militer, kata seorang kawan. Cuma dikelilingi pagar tinggi. Gak keliatan bangunan-bangunan di dalamnya. Yang membuat saya menyadari tempat itu merupakan kedubes AS adalah antrian mengular di pintu masuk. Terdiri dari orang-orang yang berpakaian necis dan masing-masing menenteng map. Saya di-drop sopir kantor, melapor pada security, menunjukkan passport, kemudian ikut masuk barisan antrian . Jam 6 pagi, tak banyak kendaraan lalu lalang di Jl. Medan Merdeka Barat. Puluhan orang di depan saya masih berdiri stagnan. Dan hanya butuh beberapa menit untuk menambah antrian di belakang saya menjadi beberapa belas orang. Bapak-bapak di depan saya yang akan mengurus visa untuk kedua kalinya, visanya yang pertama sudah expired, berkomentar: “Ya beginilah, bahkan kanopi saja tidak ada. Makanya saya memilih wawancara jam 7, kalau jam 9, antrian lebih panjang dan tentu saja lebih panas”. Saya mengangguk tanda setuju. Tiap harinya ada ratusan orang mengantri, berdiri, dan berpanas-panasan. Kalau musim hujan, ya mungkin berhujan-hujanan juga.  Demi permohonan ijin tinggal di AS.  Rasa-rasanya memang  seperti bangsa kelas dua.

Saya agak heran melihat banyaknya pemohon visa yang membawa handphone, memakai ransel dan tas jinjing besar. Saya sendiri hanya membawa tas kanvas seukuran map berisi dokumen-dokumen plus dompet dan sebuah buku. Dari beberapa review blog yang saya baca, pemohon visa tidak diperkenankan membawa tas berukuran lebih besar dari dokumen serta tidak ada penitipan untuk handphone dan barang elektronik lainnya. Ternyata kedua hal tersebut tidak terbukti saat saya mengurus visa kemarin (catatan saya mengurus visa akhir Agustus 2013 lalu). Memang handphone, laptop, tablet, kunci mobil yang ada remotenya, token, serta makanan dan minuman tidak boleh dibawa masuk. Akan tetapi bisa dititipkan di security saat awal pengecekan. Sedangkan tas, untuk tas ransel akan ditandai petugas, but  overall semua tas bisa masuk.

Setelah melewati security check, saya digiring menuju deretan kursi tepat  di samping lapangan basket . Agak rancu, jangan-jangan kami semua akan disuruh nonton basket terlebih dahulu :p. Rupanya ini adalah antrian pertama untuk penyerahan bukti konfirmasi wawancara, passport, dan pas foto. Nanti sebagai imbalan, si  tante bule di loket akan memberikan kartu berupa nomor grup tertentu. Peserta wawancara akan dibagi ke dalam beberapa grup. Setelahnya saya digiring masuk ke dalam beberapa lapis pintu menuju ruang wawancara. Kali ini saya bernafas lega, ruangannya lebih layak. Ber-AC dengan tempat duduk selayaknya kursi tunggu

Hingga pukul 8.05, belum ada tanda-tanda wawancara akan dimulai. Malahan terdengar pengumuman dari pengeras suara bahwa sistem komputernya sedang ada masalah. Yang berarti saya harus menunggu lebih lama.

*

Sebelum sampai pada tahap wawancara, ada beberapa langkah yang harus dilalui. Konon, mengurus visa Amerika ini paling ribet diantara visa-visa  lain yang harus diurus seorang pemegang passport Indonesia. Satu-satunya yang gak bisa diurusin lewat travel agen.  Tapi kalau mau disederhanakan, ada 6 hal utama yang harus kawan lakukan: 1) Membuat pas poto 2) mengisi form DS160 (dilakukan online) 3)Melakukan pembayaran di bank  4) Menyiapkan dokumen fisik 5)Menentukan jadwal wawancara  6)Melakukan wawancara.

Kelima langkah sebelum wawancara tidak harus dilakukan berurutan, tapi penting untuk diperkirakan waktunya secara matang. Misalnya kawan menentukan jadwal wawancara senin depan, sedangkan surat sponsorship baru dikirim minggu ini dari Amerika. Just in case suratnya belum nyampe saat jadwal wawancara tiba kan bisa kacau. Saya waktu itu menggunakan JNE dan suratnya sampai di Jakarta dalam waktu 4 hari.

Untuk pas foto, sesuai rekomendasi orang-orang, saya membuat pas foto di Jalan Sabang.  Memang spesifikasi foto dan ukuran cetak foto untuk visa AS ini tidak lazim. Selanjutnya saya melakukan pembayaran 180 USD, bisa di Bank Permata atau Standard Charter. Curangnya, diterima atau ditolak visa AS-nya, uang tidak bisa kembali.  Saya baru melakukan pengisian DS-160 saat dokumen fisik sudah lengkap semua. Sebenarnya pengisian DS-160 ini masih bisa diedit selama pemohon belum mengkonfirmasi jadwal wawancara. Dokumen yang perlu kawan siapkan saat mengisi DS-160 antara lain: passport, kartu keluarga, KTP, booking tiket dan alamat tinggal di Amerika. Sedangkan saat wawancara dokumen fisik penunjang yang lazim disiapkan (meski sebenarnya tidak ada ketentuan khusus dari  Kedubes) yakni: surat sponsorship, booking tiket, booking hotel, rekening koran, akte kelahiran, kartu keluarga, asuransi perjalanan, surat nikah, ijasah, dan surat penugasan (jika dalam rangka tugas).

*

Hampir pukul setengah sebelas siang.  Suasana mulai kisruh. Saya yang berada dalam grup gelombang pertama berucap syukur. Katanya antrian di luar sudah sangat panjang. Yang mendaftar wawancara tahap satu saja belum mulai. Ditambah antrian wawancara dengan jadwal jam 9 pagi. Engkong-engkong, nyonyah-nyonyah, bapak-bapak, mulai banyak yang  protes. Menunggu 3 jam tanpa barang elektronik dan koneksi ke dunia luar bukan perkara mudah bagi orang-orang yang terbiasa sibuk. Kalau saya sih senang-senang saja, karena berarti bisa bolos kerja setengah hari.

Tak lama, keluarlah pengumuman bagi yang tidak bisa menunggu, diperkenankan mengikuti wawancara dari hari selasa sampai jumat. Petugas kedubes akan memberikan kartu tanda disposisi. Saya memilih menunggu saja. Bukan apa-apa, kalau ditunda sampai besok, berarti deg-degan nya bertahan sampai besok juga. Agak ketar ketir karena seorang rekan di kantor beberapa waktu lalu visanya ditolak. Not all applicants will be received.

Seorang bapak yang bekerja di perusahaan minyak negara, duduk tepat di samping saya menuturkan, menurut forum kantor yang ia ikuti bahwa kerusakan di sistem komputer kedubes AS ini sudah kerap terjadi. No wonder.

Hanya berselang sepuluh menit, 5 loket yang ada mulai dibuka.  Sistem komputer sudah bagus, kata seseorang dari pengeras suara.

Grup yang tadi sudah dibagi, dipanggil kembali oleh petugas untuk pemindaian sidik jari. Setelahnya tiap grup akan mengantri pada satu loket yang sama. Sebelumnya saya membayangkan wawancara akan berlangsung seperti wawancara kerja, si pewawancara dan yang diwawancarai sama-sama duduk.  Yes, you wish!. Ternyata proses wawancaranya lebih mirip saat saya membeli tiket commuter di Stasiun Palmerah.

“Bang, satu visa ke Amerika ya bang”.

“Emang eneng ke Amerika mau ngapain?”.

“Mau bla…bla…bla… bang”

“Oh ya sudah, ni abang kasih visanya. Hati-hati ya neng”.

Terlalu lama menunggu memang bisa membuat khayalan menjadi-jadi. Saya sudah berdiri tepat di muka loket. Dua orang di depan saya sedang diwawancara. Seorang ibu yang sudah cukup sepuh ditemani seorang perempuan. Meski wawancara seharusnya berlangsung menggunakan bahasa inggris, tapi si bule pewawancara juga bisa berbahasa Indonesia. Ibu itu berbicara dengan logat jawanya yang medok. Ia ke Amerika dalam rangka wisuda anaknya yang lulus cumlaude. Tentu saja si om bule gak peduli anaknya si ibu ini cum laude atau tidak. Tapi saya yang di belakang si ibu peduli. Jadi ingat dulu waktu acara wisuda S2 saya yang cuma dihadiri (mantan) pacar. Wawancaranya berlangsung cukup alot, karena si ibu gak bisa menunjukkan nomor kartu tinggal anaknya di Amerika.  Hampir setengah jam lebih. Tapi syukurlah visanya di approved.

Giliran saya, gak banyak yang ditanyakan si om bule. Saya hanya menunjukkan surat guarantee dan sponsorship. Berlangsung lebih kurang 10 menit, saya lalu diberi kertas putih bertuliskan “Selamat visa AS Anda telah disetujui”.

[caption id="attachment_291557" align="aligncenter" width="300" caption="Secarik kertas putih tanda visa disetujui"][/caption]

Hari rabu, agak sorean saya mendapat email dan SMS konfirmasi kalau passport  saya sudah bisa diambil. Alhamdulillah dapat visa AS B1(business) dan B2 (wisatawan) yang berlaku sampai 2018 :)

[caption id="attachment_291559" align="aligncenter" width="300" caption="Visa AS"]

13804972821867899223
13804972821867899223
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun