“ There must be, uncomfort feeling, awkward moment when you wake up in the morning, on different bad, as usual. Feel different smell of the air that you take.”
But I always miss that feeling, sometimes trying to repeat once, and once more.
Hotel Swiss-Bell Inn, di Medan
Hampir pukul 4 pagi, saya terbangun. Kaget. Terkantuk-kantuk saya memakai jaket, menggunakan bergo, menyeret kaki menuju lift. Saatnya sahur. Restoran terletak di lantai satu. Pintu lift terbuka. Denting sendok yang beradu dengan piring terdengar dari kejauhan.
Mata saya masih merem melek menikmati suguhan nasi goreng yang sudah dingin. Bagian dari sahur ini menjadi nilai minus ini hotel. Entahlah. Mungkin karena sahur.Tak banyak menu yang tersedia. Saya menyangka si koki memasaknya sudah dari tadi malam. Nasi gorengnya dingin. Sisanya hanya ada roti-rotian, buah, dan jus.
Jika mengesampingkan menu sahur yang tidak membangkitkan gairah makan itu, bolehlah hotel ini saya acungi jempol. Kamar standardnya cukup luas dan nyaman. Meski letaknya agak tersembunyi, tapi hotel ini masih berada di pusat kota Medan. Terbilang murah dengan rate di bawah 400 ribu per malam. Pengunjungnya ramai. Harus sabar untuk check-in dan check out. Sebagian besar sepertinya business travelers. Sisanya bule-bule yang sedang backpackeran.
Edu Hostel, di Yogyakarta
Hostel ini memproklamirkan diri sebagai hostel modern pertama di Indonesia. Letaknya masih di kawasan Ngampilan yang terkenal sebagai daerah oleh-oleh, terutama bakpia. Gak begitu jauh sih dari Malioboro. Dengan rate 7 USD per malam, hostel ini okay lah Sistem keamanan baik di lift maupun kamar menggunakan kunci sensor. Waktu itu saya tidur di female dorm, ada 3 ranjang bertingkat. Satu kamar mandi dalam yang terpisah antara toilet dan shower room-nya. Bersih Untuk menyimpan barang-barang tersedia loker tanpa gembok. Kalau mau pakai gembok, harus beli gembok lagi. Parkiran luas. Staf ramah. Dan sudah termasuk sarapan pagi.
Menginap di hostel berarti harus sekamar dengan orang-orang asing. Yang berarti kita juga harus menghargai privasi orang-orang asing tersebut. Itulah yang bikin gak enak hati kalau pulau (ke)malam(an) saat penghuni lain sudah tertidur nyenyak dan lampu dimatikan. Mau menyalakan lampu, takut mengganggu. Tidak dinyalakan, kegiatan kita yang terganggu. Beres-beres barang dengan mengeluarkan suara seminim mungkin, lalu mencari arah kiblat dalam kiblat dalam kegelapan. Well, keduanya perlu usaha ekstra.
Akan tetapi, karena tidurnya rame-rame pula, jadinya tidak merasa sendirian. Membuka mata di pagi hari, ada saja yang disapa, ada saja teman ngobrol. Bahkan terbangun tengah malam, dan mendengar suara dengkuran teman sekamar terkadang bisa jadi penenang kalau sedang galau :D
Sarapan pagi saya nikmati di roof top. Sembari menikmati Jogja dari ketinggian *halah. Di roof top ini terdapat kolam celup dan beberapa kursi yang di desain untuk beristirahat atau sekedar berleha-leha. Kelihatannya salah satu sasaran konsumen hostel ini adalah bule-bule. Kolam celup yang terletak di roof top ini cukup memfasilitasi bule-bule yang demen berjemur.
*review ini sebatas yang penulis alami. Tentu saja berisi penilaian subjektif penulis.
**foto-foto merupakan koleksi pribadi penulis
source: www.anonimgue-anonim.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H