Dia meninggalkan kedai kopi dengan tujuan, setiap langkah menggemakan tekad yang mengalir di nadinya. Udara malam menyapu kulitnya, sejuk dan menyegarkan, membisikkan janji-janji penemuan dan pemahaman. Aditya tahu bahwa keesokan paginya, hubungannya dengan kopi—dan dirinya sendiri—akan dimulai kembali, mendalami eksplorasi mendalam tentang aroma, rasa, dan esensi keberadaan.
Jam tangan Aditya menandai dini hari di pagi kota yang ramai ketika dia membuka pintu kedai kopi, belnya berbunyi sapaan akrab. Uap dari mesin espresso menari-nari dengan cahaya fajar, memancarkan cahaya halus ke seluruh meja kayu yang dipoles. Dia menjadi sosok spektral di sini, datang bersama matahari dan pergi hanya setelah bulan menguasai langit.
“Gandakan espresso lagi hari ini?” barista, mengetahui rutinitasnya, bertanya sambil tersenyum hangat.
"Buatlah pour over. Aku sedang bereksperimen," jawab Aditya, tatapannya mengamati ruangan untuk mencari sosok Hendrik Wijaya yang penuh teka-teki.
"Mencoba menangkap petir di dalam botol?" Suara Hendrik muncul dari meja sudut yang diselimuti bayang-bayang dan daya tarik intelektual.
"Mungkin," Aditya mengakui, bergabung dengannya dengan rasa hormat yang baru terhadap ritual yang menantinya. "Saya mencari hikmah dari biji kopi ini, dalam perjalanannya dari tanah ke cangkir."
"Ah," Hendrik mengangguk sambil melipat korannya dengan hati-hati. “Kopi bukan hanya tentang kafein. Ini adalah bisikan dari bumi itu sendiri, yang menceritakan kisah tentang hujan dan matahari, tentang tangan yang telah merawat dan memanen.”
“Cerita-cerita yang sangat ingin saya ungkapkan,” Aditya mengaku, mengamati barista dengan cermat menuangkan air ke atas kopi yang baru digiling, membayangkan dari mana asalnya. Dia menarik napas dalam-dalam, membiarkan aromanya memenuhi indra dan pikirannya dengan nafsu berkelana.
“Masing-masing daerah mempunyai dialek yang berbeda-beda,” renung Hendrik. "Kacang Ethiopia bernyanyi tentang kebun jeruk, sedangkan kacang Sumatra... mereka bergumam di lantai hutan yang berlumut."
“Saya ingin memahami bahasa mereka,” kata Aditya sambil menerima cangkirnya dengan rasa terima kasih yang tenang.
"Kalau begitu, kamu harus membenamkan diri," Hendrik menyemangati sambil menyesap ramuan gelap miliknya sendiri. "Kamu harus mengejar kacang itu kembali ke akarnya."